Pada 25 April, Serio pun menyuruh Mary untuk mengemasi barang-barangnya. Sebab, saat itu, ia menyuruh Mary untuk segera terbang ke Yogya, Indonesia karena di sana ada lowongan pekerjaan.
Awalnya, Mary ragu menerima tawaran tersebut. Sebab, saat itu, ia sudah tidak punya uang guna membeli tiket pesawat ke Yogya. Jangankan uang, untuk makan sehari-hari saja waktu itu Mary kesulitan.
Beruntungnya, Serio mau membantu Mary. Ia mau meminjamkan sejumlah uang kepada Mary untuk berangkat ke Yogya. Namun, di sinilah letak kesalahan Mary.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, Mary ditawari Serio untuk menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Lantaran dihimpit kondisi ekonomi yang tidak memadai, ia pun menerima tawaran tersebut.
Serio pun memasukan sejumlah narkoba jenis heroin ke dalam koper yang ia berikan kepada Mary. Ia juga memberikan sejumlah uang kepada Mary untuk biaya hidup di Yogya
Sesampainya di Bandara Yogya, Mary langsung diperiksa petugas karena ada indikasi barang mencurigakan di koper Mary saat pemerikaan mesin x-ray.
Pada awal pemeriksaan, petugas bandara tidak ditemukan adanya barang mencurigakan di dalam koper Mary. Namun, petugas bandara tidak lantas percaya begitu saja. Oleh sebab itu, mereka melakukan pengecekan kembali terhadap koper Mary.
Benar saja, usai melakukan pengecekan mendalam, petugas bandara akhirnya menemukan heroin seberat 2,6 kilogram di dalam koper Mary. Heroin yang ditaksir seharga USD500 ribu atau setara Rp7,6 miliar saat itu.
Imbas temuan ini, kepolisian Indonesia pun segera menangkap dan menahan Mary. Pada 11 Mei 2010, Mary sempat menelpon keluarganya untuk memberi tahu kondisinya di Indonesia.
"Ibu, Ayah, aku sangat mencintai kalian semua. Aku dipenjara," kata dalam percakapan telepon saat mengabari keluarganya.
Kesalahan berat Mary ini membuat Indonesia saat itu bertindak tegas. Pengadilan Indonesia memutuskan untuk memberikan vonis hukuman mati.
Pada 2011, Mary sebetulnya pernah mengajukan banding untuk meringankan hukuman mati yang diberikan kepadanya. Namun upaya bandingnya ditolak.
Upaya peninjauan kembali juga kandas hingga grasinya ditolak Presiden Jokowi.
Saat itu, Jokowi juga tegas mengatakan bahwa Indonesia akan memerangi orang-orang atau kelompok yang masuk dalam organisasi pengedar narkoba. Ia pun akhirnya diputuskan akan dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan.
Namun, lobi-lobi yang dilakukan Filipina kepada Indonesia rupanya berhasil meredam vonis mati tersebut. Usai melobi selama lebih dari satu dekade, Filipina dikabarkan bisa memulangkan Mary.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan Mery Jane bukan dibebaskan. Menurutnya RI hanya mempertimbangkan opsi "transfer of prisoner" atau pemindahan narapidana. Filipina, kata dia, juga harus memenuhi sejumlah syarat yang ditetapkan.
"Tidak ada kata bebas dalam statement Presiden Marcos itu. 'bring her back to the Philippines' artinya membawa dia kembali ke Filipina," kata Yusril melalui keterangan persnya, Rabu (20/11).
Sejumlah syarat yang harus dipenuhi Filipina sebagai negara yang mengajukan permohonan pemindahan narapidana yaitu mengakui dan menghormati putusan final pengadilan Indonesia dalam menghukum warga negaranya yang terbukti melakukan tindak pidana di wilayah negara Indonesia.
Kedua, narapidana tersebut dikembalikan ke negara asal untuk menjalani sisa hukuman di sana sesuai putusan pengadilan Indonesia.
Terakhir, biaya pemindahan dan pengamanan selama perjalanan menjadi tanggungan negara yang bersangkutan.
"Bahwa setelah kembali ke negaranya dan menjalani hukuman di sana, kewenangan pembinaan terhadap napi tersebut beralih menjadi kewenangan negaranya," kata Yusril.
Yusril menyebut Mary Jane kemungkinan besar lolos dari hukuman mati apabila ada grasi yang diberikan Presiden Filipina.
"Dalam kasus Mary Jane yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia, mungkin saja Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi hukuman seumur hidup, mengingat pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidana Filipina, maka langkah itu adalah kewenangan sepenuhnya dari Presiden Filipina," ujarnya.
Yusril menambahkan Joko Widodo saat menjadi Presiden RI telah menolak permohonan grasi Mary Jane, baik yang diajukan oleh pribadi maupun pemerintah Filipina.
(isa/bac)