Jakarta, CNN Indonesia --
Pemimpin kelompok pemberontak Hayat Tahrir Al Sham (HTS), Abu Mohammed Al Julani, menjadi sorotan usai berhasil membangkitkan pemberontakan hingga menggulingkan rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad pada Minggu (8/12).
HTS merupakan sebuah kelompok pemberontak yang telah menjadi oposisi bersenjata paling kuat di Suriah menentang rezim Assad, terutama sejak perang sipil berkecamuk di Suriah pada 2011.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
HTS menjadi "ujung tombak" utama kebangkitan pemberontak hingga berhasil menggulingkan rezim Assad setelah 13 tahun perang saudara pecah di Suriah sejak 2011 antara milisi pemberontak dan pemerintah.
Kala pemberontakan Suriah kembali bangkit dalam beberapa waktu terakhir, rumor Al Julani tewas sempat beredar. Sebuah foto beredar di dunia maya mengklaim bahwa Al Julani telah terbunuh dalam serangan Rusia. Namun kabar itu telah dibantah karena foto itu rupanya hanya hasil rekayasa.
Nama Al Julani makin disorot setelah berhasil membawa pasukan kelompoknya merebut sejumlah kota-kota penting seperti Aleppo, Homs, hingga ibu kota Damaskus kurang dari sebulan terakhir. Hingga pada akhirnya, pemberontak mampu menduduki Damaksus dan menggulingkan rezim Assad yang dilaporkan juga telah kabur keluar Suriah.
Lantas siapakah Abu Mohammed Al Julani?
Al Julani lahir dengan nama Ahmed Hussein Al Sharaa pada 1982 di Riyadh, Arab Saudi, tempat ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan. Keluarganya kembali ke Suriah pada 1989 dan menetap di wilayah Damaskus.
Sayangnya, tak banyak yang tahu masa-masa Al Julani di Damaskus sebelum kepindahannya pada 2003 ke Irak.
Kala itu, ia bergabung dengan Al Qaeda di Irak sebagai bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat (AS). Kemudian pada 2006, Al Julani sempat ditangkap oleh pasukan AS di Irak dan ditahan selama lima tahun.
Ia kemudian ditugaskan untuk mendirikan cabang Al Qaeda di Suriah, yang dinamakan Front Al Nusra. Ia kemudian menyebarkan influensinya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh oposisi, terutama di Idlib.
Di saat-saat itu, Al Julani berkoordinasi dengan Abu Bakr Al Baghdadi, kepala Al Qaeda, yang kemudian menjadi ISIS.
Pada April 2013, Al Baghdadi tiba-tiba mengumumkan bahwa kelompoknya memutuskan hubungan dengan Al Qaeda dan akan berekspansi ke Suriah, yang melebur Front Al Nusra ke dalam sebuah kelompok baru yakni ISIS.
Namun, Al Julani menolak perubahan ini. Ia tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Al Qaeda.
Dalam wawancara televisi pertamanya pada 2014, ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Suriah harus diperintah berdasarkan interpretasi kelompoknya tentang "hukum Islam" dan minoritas di negara tersebut, seperti orang Kristen dan Alawi, tidak akan diakomodasi.
Pada tahun-tahun berikutnya, Al Julani terkesan menjauhkan diri dari proyek Al Qaeda untuk membangun "kekhalifahan global" di semua negara berpenduduk mayoritas Muslim, dan lebih memilih untuk membangun kelompoknya di dalam perbatasan Suriah.
Baca di halaman berikutnya >>>
Awal mula HTS
Menurut para analis, perpecahan ini tampaknya merupakan upaya untuk menekankan ambisi nasional kelompoknya, dan bukan transnasional, kepada kelompok-kelompok di Idlib.
Kemudian pada Juli 2016, Aleppo jatuh ke tangan rezim dan kelompok-kelompok bersenjata di sana mulai bergerak ke Idlib, yang masih dikuasai oposisi. Sekitar waktu yang sama, Al Julani mengumumkan bahwa kelompoknya telah berubah menjadi Jabhat Fateh Al Sham.
Pada awal 2017, ribuan pejuang mengalir ke Idlib yang melarikan diri dari Aleppo dan Al Julani mengumumkan penggabungan sejumlah kelompok tersebut dengan kelompoknya untuk membentuk HTS.
Diciptakannya HTS sebenarnya adalah untuk membebaskan Suriah dari pemerintahan otokratis Assad, "mengusir milisi Iran" dari negara itu dan mendirikan negara sesuai dengan interpretasi mereka sendiri tentang "hukum Islam".
Sebagai pendiri HTS, Al Julani selama hampir 10 tahun berusaha memisahkan diri dari angkatan bersenjata lain dan fokus mereka pada operasi transnasional, dan beralih untuk berfokus pada penciptaan "republik Islam" di Suriah.
Sejak 2016, ia telah memposisikan dirinya dan kelompoknya sebagai pengurus yang kredibel untuk Suriah yang telah dibebaskan dari Presiden Suriah Assad. Ia diklaim secara brutal menindas pemberontakan rakyat selama Musim Semi Arab pada 2011, yang mengarah ke perang yang telah berlangsung sejak saat itu.
HTS menjalankan pemerintahan di Idlib melalui Pemerintah Keselamatan Suriah, yang didirikan pada 2017 untuk menyediakan layanan sipil, pendidikan, perawatan kesehatan, peradilan dan infrastruktur, serta mengelola keuangan dan distribusi bantuan.
Namun, menurut para aktivis, laporan berita, dan pemantau lokal, HTS juga memerintah dengan tegas dan tidak mentolerir perbedaan pendapat.
Organisasi jurnalisme independen, Syria Direct, melaporkan bahwa HTS berada di balik penghilangan paksa para aktivis dan telah menembakkan peluru tajam ke arah para pengunjuk rasa yang menuduh kelompok tersebut menolak memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menentangnya.
Ketika para pejuang oposisi merebut kembali Aleppo dan bergerak ke selatan, Al Julani tampaknya telah mengambil sikap yang lebih akomodatif terhadap minoritas Suriah. Sejak merebut Aleppo, HTS telah memberikan jaminan bahwa agama dan etnis minoritas akan dilindungi.
Menurut Hassan Hassan, seorang pakar Suriah tentang kelompok-kelompok bersenjata di Levant, Al Julani ingin mencap HTS sebagai entitas pemerintahan yang kredibel di Suriah dan mitra yang memungkinkan dalam upaya kontra terorisme global.
Di Idlib, ia berusaha untuk bermitra dengan kelompok-kelompok oposisi bersenjata lainnya, seperti Harakat Nour Al Din Al Zinki, Liwa Al Haq, dan Jaysh Al Sunna, dan menghindari sekutu-sekutu lama, seperti Hurras Al Din, cabang Al Qaeda yang baru di Suriah.
HTS saat ini dicap sebagai organisasi "teroris" oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Turki, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Al Julani mengatakan bahwa sebutan ini tidak adil karena kelompoknya telah meninggalkan kesetiaan masa lalunya dan memilih kesetiaan nasional.
Terlepas dari ambisi domestik yang dinyatakan Al Julani, sebagai kepala kelompok oposisi bersenjata terbesar di Suriah, dampaknya terhadap negara tersebut akan bergema secara nasional dan internasional.