Namun ancaman terbesar bagi Beijing bukanlah perlawanan itu sendiri, melainkan pergeseran ideologis yang diwakilinya. Kian banyak anak muda China yang tak lagi melihat wajib militer sebagai panggilan patriotik, melainkan sebagai bentuk keterlibatan dalam rezim yang tak mereka percayai.
Generasi ini menolak menjadi "daging meriam" untuk agenda partai yang tak pernah mereka pilih. Ungkapan seperti "kucai yang terus dipotong" kini populer sebagai metafora sinisme mereka terhadap kekuasaan negara. Penolakan wajib militer bukan lagi sekadar tindakan pengecut, tetapi bentuk perlawanan.
Sebenarnya, tanda-tanda penolakan ini sudah muncul sejak 2017, saat koran militer China memperingatkan tren penghindaran wajib militer-mulai dari tindik telinga, melukai diri, hingga mogok makan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski regulasi diperketat, penolakan tetap terjadi, khususnya di kota-kota pesisir yang lebih makmur, di mana peluang karier di luar negeri jauh lebih menarik ketimbang pengorbanan demi negara.
Menghadapi arus penolakan ini, pemerintah China beralih ke indoktrinasi dini. Menurut South China Morning Post, pelatihan militer kini diperluas hingga ke tingkat universitas bahkan taman kanak-kanak.
Pelatihan drone, simulasi tempur, dan pengalaman "berperang" kini menjadi alat untuk menanamkan loyalitas sejak dini. Bukannya mendorong semangat sukarela, PLA justru mencoba "membentuk ketaatan".
Upaya hukum pun turut digencarkan. Seorang direktur Komisi Urusan Hukum Kongres Rakyat Nasional memimpin reformasi yang disebut "pendalaman pendidikan pertahanan nasional"-eufemisme untuk penanaman nasionalisme dari usia dini.
Dalam pernyataan terakhirnya, sang pelapor dalam pengasingan menyampaikan peringatan keras. Jika perang Taiwan pecah, katanya, tentara yang direkrut secara paksa tak akan berjuang demi negara, tapi demi bertahan hidup. "Prajurit yang tidak percaya pada tujuannya tidak akan maju ke medan tempur-mereka justru mencari jalan keluar."
Ia pun menyerukan kepada para orang tua di seluruh China untuk bertindak sebelum terlambat. "Jangan biarkan anak kalian mati demi seorang diktator," ujarnya.
Ia menggambarkan masa depan kelam di mana pemuda dijemput paksa di jalanan, disiksa, bahkan dieksekusi jika menolak. Nasihatnya tajam dan lugas: amankan paspor, siapkan rencana keluar.
Saat parade 3 September digelar, tank-tank akan berjalan dan bendera akan dikibarkan. Namun di balik pertunjukan kekuatan itu, tampak jelas bahwa pemerintah sedang berjuang mempertahankan kepercayaan publik.
Xi Jinping boleh saja memimpin parade, tapi bisa jadi ia sudah tak lagi memimpin kehendak generasi muda-yang kini lebih memilih kebebasan daripada sekadar menjadi simbol negara.
(dna)