Jakarta, CNN Indonesia --
Dalam beberapa tahun terakhir, jejak global China yang semakin meluas telah menjadi salah satu ciri utama geopolitik abad ke-21.
Meski sebagian besar perhatian tertuju pada kebangkitan ekonomi dan militernya, perkembangan yang lebih terselubung berlangsung jauh dari tanah China, yakni dugaan meluasnya operasi pengaruh dan pengawasan Partai Komunis China (CCP) di wilayah Amerika Serikat (AS).
Dari institusi akademik dan organisasi kebudayaan hingga intimidasi terselubung terhadap para pembangkang, jangkauan CCP kini tidak lagi terbatas pada perbatasan negaranya, melainkan telah merambah ke jantung masyarakat demokratis Amerika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam editorial European Times, disebutkan bahwa kampanye lintas batas China ini memiliki tujuan jelas: melindungi citra CCP, membungkam kritik, dan menegakkan keseragaman ideologi, bahkan terhadap mereka yang telah meninggalkan China demi mencari kebebasan.
Taruhannya bukan hanya keselamatan warga negara China di luar negeri, tetapi juga integritas institusi dan nilai-nilai Amerika.
Bayang-bayang pengawasan
Pada 2022 dan 2023, terungkapnya "kantor polisi" ilegal China di kota-kota seperti New York mengejutkan aparat penegak hukum dan intelijen AS.
Diduga berkedok pusat layanan masyarakat, pos-pos ini digunakan untuk memantau dan mengintimidasi diaspora China, terutama mereka yang kritis terhadap CCP.
Kasus penangkapan dua pria oleh FBI di New York karena mengoperasikan pos ilegal tersebut menjadi momen langka pertanggungjawaban publik. Jaksa menuduh mereka bertindak atas arahan Kementerian Keamanan Publik China dan mencoba memaksa seorang pembangkang China kembali ke negaranya.
Keberadaan operasi semacam ini menunjukkan sejauh mana Beijing bersedia melangkah untuk memperluas kontrol otoriternya ke dalam masyarakat demokratis.
Penindasan lintas negara
Strategi penindasan lintas negara Beijing bersifat sistematis dan berkelanjutan.
Partai berusaha membungkam para pengkritiknya-terutama kelompok etnis minoritas, aktivis demokrasi, dan penganut agama-yang telah lolos dari jangkauannya namun tetap bersuara di luar negeri.
Mahasiswa dan peneliti China di AS kerap melaporkan diri mereka dipantau, dilecehkan, atau dipaksa diam. Sebagian takut keluarganya di tanah air akan menghadapi risiko jika mereka menyampaikan pendapat yang berbeda.
Dosen yang mengajar topik sensitif seperti Tibet, Xinjiang, Hong Kong, atau tragedi Tiananmen, menjadi sasaran ancaman daring dan perundungan terkoordinasi.
Contoh paling mengkhawatirkan terjadi pada warga Uyghur-Amerika yang menerima ancaman anonim atau tekanan melalui anggota keluarga di Xinjiang-semuanya bertujuan untuk membungkam dan memaksakan keseragaman, bahkan di luar batas negara China.
Lanjut ke sebelah...
Pengaruh lewat institusi
Operasi pengaruh Beijing di luar negeri tidak selalu berlangsung diam-diam.
Sebagian besar justru dilakukan secara terbuka, lewat lembaga resmi, investasi ekonomi, dan diplomasi budaya. Departemen Pekerjaan Front Persatuan CCP-badan besar yang bertugas membentuk opini publik asing-telah memperluas operasinya secara global, termasuk di AS.
Confucius Institute, yang dulunya ada di puluhan universitas AS, menjadi sarana untuk menyebarkan pandangan CCP dengan dalih pertukaran bahasa dan budaya. Meski banyak yang tutup akibat pengawasan ketat dan tekanan kongres, keberadaannya menjadi pelajaran penting tentang risiko pengaruh asing di dunia akademik.
Sementara itu, organisasi mahasiswa China di kampus-kampus AS, yang diduga memiliki hubungan dengan konsulat China, dituding memantau dan melaporkan perilaku "tidak patriotik" rekan mahasiswa mereka. Iklim ketakutan dan penyensoran diri ini merusak kebebasan akademik yang menjadi dasar pendidikan tinggi Amerika.
Memanfaatkan teknologi dan media sosial
Ruang digital menjadi medan baru bagi CCP untuk memproyeksikan kekuasaan di luar negeri.
Penggunaan kampanye disinformasi, spionase siber, dan alat pengawasan digital oleh Beijing telah terdokumentasi dengan baik. Namun, yang sering luput diperhatikan adalah bagaimana alat-alat ini digunakan untuk menyerang pembangkang China dan memanipulasi opini di negara lain.
Platform seperti Twitter, Facebook, dan YouTube, yang ironisnya diblokir di China, sering dimanfaatkan jaringan pro-Beijing untuk mendiskreditkan kritikus, menyebarkan narasi CCP, dan melecehkan aktivis. Banyak akun tersebut bekerja secara terkoordinasi dalam kampanye disinformasi untuk mendistorsi diskusi publik, melemahkan kepercayaan pada institusi demokrasi, dan memecah belah masyarakat.
Selain itu, perusahaan teknologi China yang beroperasi secara global tunduk pada undang-undang yang mengharuskan kerja sama dengan negara. Hal ini memicu kekhawatiran, terutama pada aplikasi seperti TikTok yang dimiliki ByteDance berbasis di Beijing, terkait privasi data, potensi sensor, dan pengaruh algoritma terhadap opini publik sesuai kepentingan CCP.
Menjangkau lewat "Lawfare"
Instrumen lain dalam strategi penindasan luar negeri China adalah "lawfare"-pemanfaatan sistem hukum untuk membidik kritikus.
Pejabat China kian sering memanfaatkan perjanjian ekstradisi internasional, pemberitahuan Interpol, dan kesepakatan penegakan hukum bilateral untuk mengejar pembangkang dengan dalih tuduhan kriminal.
Di saat yang sama, gugatan hukum dan intimidasi digunakan untuk membungkam jurnalisme dan penelitian kritis terhadap rezim China. Peneliti independen, penerbit, dan media di Barat digugat atau diancam oleh pihak yang terkait dengan kepentingan China.
Tujuannya bukan memenangkan perkara, melainkan menguras sumber daya, menimbulkan rasa takut, dan membungkam kritik lewat tekanan hukum berkepanjangan.
Pesan yang dikirim CCP lewat taktik ini jelas: tidak ada tempat aman. Baik itu mahasiswa, aktivis, akademisi, atau warga biasa, kritik terhadap Partai dapat mengikuti mereka semua, bahkan di Amerika Serikat. Ini bukan sekadar soal spionase atau persaingan geopolitik, tapi sudah lebih mengenai kontrol.
Banyak dari mereka yang menjadi target bukanlah elit kebijakan luar negeri atau ancaman keamanan nasional, melainkan orang-orang yang ingin menggunakan kebebasan dasar: berbicara, memprotes, dan hidup tanpa rasa takut. Fakta bahwa mereka kian tidak aman di negara demokratis seharusnya menjadi perhatian serius.
Ancaman bagi demokrasi AS
Inti dari kampanye pengaruh dan penindasan lintas batas CCP adalah tantangan langsung terhadap nilai-nilai yang menopang demokrasi Amerika-kebebasan berpendapat, kebebasan akademik, transparansi, dan hak asasi manusia.
Membiarkan otoritarianisme asing berakar di komunitas Amerika akan menggerogoti fondasi sosial dari dalam.
Otoritas AS telah mengambil berbagai langkah untuk melawan, mulai dari penyelidikan kongres, penerapan kewajiban pelaporan pendanaan asing di universitas, hingga penuntutan terhadap operator ilegal. Namun, masih banyak hal yang tersembunyi dan belum terselesaikan.
Ancaman ini bersifat menyebar, berkelanjutan, serta mampu beradaptasi, dan pertarungan yang berlangsung juga memiliki dimensi ideologis selain aspek geopolitiknya.