Menhan Pakistan Tuding Separuh Birokrat Negaranya Korup

CNN Indonesia
Sabtu, 23 Agu 2025 05:15 WIB
Menhan Pakistan Kwahaja Arif kritik birokrasi negara, sebut banyak pejabat tinggi korup dengan cara tertentu.
Menteri Pertahanan Pakistan Khawaja Muhammad Asif. Foto: (AFP/Aamir Qureshi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Pertahanan Pakistan Khawaja Muhammad Asif memicu kehebohan di pemerintahan usai melontarkan kritik keras terhadap birokrasi negara, dengan menyebut lebih dari separuh pejabat tinggi cenderung memperkaya diri lewat cara-cara tertentu.

Tidak sampai di situ, ia juga menyebut bahwa para pejabat itu kemudian berusaha mendapatkan kewarganegaraan Portugal agar bisa pensiun dengan damai di masa mendatang.

Dikenal dengan gaya humor yang khas, pernyataan Khawaja sontak membuat gerah kalangan birokrat yang merasa digambarkan sebagai kelas penguasa yang tidak jujur dan korup. Khawaja Asif, tanpa sadar, seolah telah "mengusik sarang lebah."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gaya Khawaja memang gemar melontarkan sindiran bernada ringan, tetapi kali ini kelas birokrat bereaksi keras. Mereka menolak tudingan soal pembelian properti di Portugal maupun upaya mendapatkan kewarganegaraan negara itu.

Juru bicara Biro Akuntabilitas Nasional Pakistan (NAB) membantah klaim adanya kasus korupsi di bawah pengawasan lembaganya sebagaimana disebut Khawaja Khawaja.

"Radar" NAB, kata mereka, tetap bersih. Demikian pula Divisi Kepegawaian yang menyatakan tidak memiliki catatan terkait praktik korupsi birokrat.

Namun, pernyataan Khawaja tentang pejabat yang menaruh kekayaan di Portugal dan mengejar kewarganegaraan di sana justru memantik rasa ingin tahu publik.

Perbandingan dengan birokrat Inggris

Birokrat di Pakistan kerap dipandang sebagai kelas istimewa. Gaya hidup mereka jauh lebih mewah dibanding masyarakat kebanyakan, mulai dari rumah dinas luas, mobil dinas mahal, hingga berbagai fasilitas.

Bahkan, jika dibandingkan dengan birokrat di Inggris, yang notabene menjadi warisan sistem mereka, gaya hidup pejabat Pakistan dinilai jauh lebih berlebihan. Publik Inggris jelas tidak akan pernah mentolerirnya.

Kenyataan lain, banyak pejabat senior Pakistan memilih pindah kewarganegaraan dan mengalihkan keluarganya ke luar negeri demi masa pensiun yang tenang. Khawaja bahkan menegaskan siap membuktikan tuduhannya dengan mengungkap nama-nama birokrat yang membeli properti di Portugal dan tengah mengurus kewarganegaraan.

Ia menambahkan, selama 78 tahun sejak Pakistan berdiri, belum pernah ada upaya akuntabilitas serius terhadap birokrasi.

"Tidak ada yang pernah memeriksa berapa banyak tanah atau properti yang dimiliki birokrat di dalam negeri," ujar Khawaja.

Gaya hidup sebagian besar pejabat juga tampak mencolok dibanding warga pembayar pajak biasa: mobil pribadi mahal, mobil dinas dengan sopir pribadi, hingga fasilitas yang digunakan keluarga untuk urusan sosial dan belanja.

Bahkan, beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri sempat memerintahkan agar mobil dinas ganda disediakan bagi pejabat muda untuk tugas lapangan.

"Apakah birokrat di Inggris, negeri yang disebut sebagai ibu demokrasi, hidup dengan fasilitas seperti ini? Tidak pernah!" tulisnya, seolah membenarkan sindiran Khawaja.

Opini publik Pakistan

Pernyataan Khawaja justru menjadi bola salju. Ia tetap bersikukuh dengan klaimnya, sementara birokrasi pun tidak tinggal diam. Kini, yang terpenting adalah opini publik. Sebagian besar masyarakat menilai apa yang diungkapkan Khawaja tidak jauh dari kenyataan.

Kemungkinan perpecahan juga bisa muncul di kalangan birokrat sendiri: antara segelintir yang bersih dan mereka yang memang membeli properti di luar negeri serta mencari kewarganegaraan asing.

Di sisi lain, kesenjangan sosial di Pakistan makin tajam. Menurut data Bank Dunia, garis kemiskinan yang semula berada di angka 40 persen, kini meningkat menjadi 44,7 persen. Bahkan, jumlah masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem melonjak dari 4,9 persen menjadi 16,5 persen.

Dalam kondisi seperti ini, ketika lebih dari separuh birokrasi diduga memiliki properti di luar negeri, hal itu hanya bisa disebut sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan, kejam, dan tidak adil.

(dna)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER