Pekerja Australia kini tak perlu takut menolak instruksi bos atau atasan di kantor di luar jam kerja. Penolakan ini kini sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese resmi mengumumkan bahwa hak pekerja untuk tidak diganggu di luar jam kerja atau right to disconnect kini telah menjadi aturan hukum sepenuhnya. Hal ini dia umumkan langsung di akun Instagramnya, @albomp.
"Nikmati waktu luang Anda akhir pekan ini. Mulai minggu depan, lebih banyak pekerja di Australia akan memiliki hak untuk memutuskan koneksi," kata dia dalam keterangan video yang diunggahnya pada Jumat (23/8) dikutip CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam video itu, dia juga menyebut bahwa aturan yang sebelumnya hanya berupa imbauan 'right to disconnect' kini resmi menjadi undang-undang.
Aturan baru ini tentunya memberikan perlindungan bagi jutaan pekerja Australia agar bisa menolak panggilan atau pesan kerja di luar jam kerja tanpa takut mendapat sanksi.
Gagasan right to disconnect pertama kali mencuat di Australia pada 2024 sebagai respons terhadap kekhawatiran meningkatnya kelelahan kerja akibat budaya 'always on' yang kian marak sejak pandemi COVID-19.
Riset Centre for Future Work menunjukkan, tujuh dari 10 pekerja Australia mengaku masih mengerjakan tugas di luar jam kerja resmi. Pada 2023, rata-rata pekerja tercatat menghabiskan 281 jam untuk lembur tidak dibayar, setara hampir Rp120 juta per tahun jika dihitung dengan upah rata-rata.
Kondisi tersebut menimbulkan dampak serius berupa kelelahan fisik, stres, hingga gangguan kesehatan mental. Karena itu, pemerintah menilai perlindungan hukum perlu segera ditegakkan.
Mengutip NPR, undang-undang tersebut sebenarnya telah disahkan sejak 2024 lalu. Namun, baru berlaku penuh untuk semua pekerja di Australia, termasuk pekerja di perusahaan kecil, sejak Agustus 2025.
Meski memberi hak menolak, hukum ini tidak sepenuhnya melarang atasan menghubungi pekerja setelah jam kerja. Hanya saja, pekerja kini punya hak untuk menolak dengan dilindungi undang-undang tersebut.
Fair Work Commission (FWC) menegaskan bahwa penolakan dianggap wajar kecuali dalam kondisi tertentu, seperti keadaan darurat atau situasi yang membutuhkan penanganan segera.
"Kalau darurat tentu wajar bila pekerja diminta merespons. Tapi kalau sekadar urusan rutin, biarlah menunggu sampai jam kerja berikutnya," ujar Menteri Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Murray Watt.
FWC juga mengatur agar sengketa antara pekerja dan atasan soal right to disconnect diselesaikan terlebih dahulu secara internal. Jika gagal, pekerja bisa mengajukan permohonan ke FWC untuk mengeluarkan stop order.
Kala itu, serikat pekerja menyambut aturan ini sebagai kemenangan besar. Presiden Australian Council of Trade Unions Michele O'Neil menyebut, right to disconnect sebagai langkah penting melawan lembur tak dibayar sekaligus melindungi kesehatan mental.
"Lebih banyak uang di kantong, lebih banyak waktu dengan keluarga, dan kebebasan untuk benar-benar menjalani hidup. Itulah makna dari hak untuk memutus koneksi," kata O'Neil.
Hanya saja, kritik juga bermunculan. Pemimpin oposisi Peter Dutton kala itu menilai aturan tersebut bisa merusak hubungan kerja. Dia bahkan kala itu berjanji akan mencabutnya bila koalisinya menang di Pemilu 2025.
Sementara Business Council of Australia menilai kebijakan ini bisa menghambat produktivitas dan mengurangi daya saing bisnis.
Dengan aturan ini, Australia bergabung dengan lebih dari selusin negara lain yang telah lebih dulu mengadopsi right to disconnect, termasuk Prancis sejak 2017, serta sejumlah negara di Eropa dan Amerika Selatan.
(tis/asr)