Demonstrasi berdarah ini awalnya dipicu oleh ketidakpuasan warga, terutama generasi muda, terhadap kinerja pemerintahan Perdana Menteri KP Sharma Oli yang berkuasa sejak 2016.
Protes berawal dari maraknya keluarga pejabat pemerintah yang memamerkan gaya hidup hedon dan kekayaan di media sosial di tengah situasi ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang tak meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, demonstrasi juga pecah menyusul sejumlah kasus korupsi besar yang melibatkan beberapa pejabat dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu kasus korupsi yang mematik demonstrasi yakni perjanjian pemerintah dengan Airbus pada 2017. Saat itu, maskapai negara Nepal Airlines membeli dua pesawat A330 berbadan lebar.
Sebuah investigasi selama lima tahun yang dilakukan oleh Commission for the Investigation of Abuse of Authority (CIAA) mengungkap kesepakatan tersebut menyebabkan kerugian sebesar 1,47 miliar rupee (US$10,4 juta) bagi kas negara. Sejumlah pejabat tinggi kemudian divonis bersalah atas tindak korupsi menyusul hasil penyelidikan itu.
Selain carut marut korupsi pemerintah, demonstrasi yang terjadi di negara tetangga juga ikut memicu generasi muda Nepal untuk mengikuti langkah serupa.
Menurut Basyal, aksi protes di Sri Lanka dan Bangladesh yang berujung pada tumbangnya pemerintahan di kedua negara Asia Selatan tersebut turut menjadi inspirasi.
Di Filipina, beredarnya gambar anak-anak pejabat publik yang hidup mewah juga baru-baru ini memicu kritik di media sosial. Hal serupa ikut mendorong kemarahan publik di Nepal, setelah video di TikTok menampilkan anak-anak politikus Nepal menikmati gaya hidup mewah di tengah kondisi pendapatan per kapita negara yang hanya sekitar US$1.300 per tahun.
Ankit Bhandari, mahasiswa 23 tahun di Kathmandu yang hadir dalam aksi protes, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa demonstrasi itu berangkat dari "frustrasi rakyat membayar pajak" namun manfaatnya tidak pernah sampai kepada publik.
Pengumuman pemerintah pada 4 September yang memblokir sejumlah platform media sosial, termasuk Facebook, pun semakin menyulut kemarahan warga.
"Protes ini digerakkan oleh frustrasi kaum muda dan ketidakpercayaan mereka terhadap otoritas, karena mereka merasa tersingkir dari proses pengambilan keputusan," ujar Yog Raj Lamichhane, asisten profesor di Sekolah Bisnis Universitas Pokhara, Nepal, kepada Al Jazeera.
"Larangan media sosial belakangan ini memang memperparah keresahan, namun akar permasalahannya jauh lebih dalam, terkait pengabaian yang sudah berlangsung lama dan pembungkaman suara anak muda," tambahnya.
Sejauh ini pemerintah Nepal memblokir 26 platform media sosial, termasuk WhatsApp, Facebook, Instagram, LinkedIn, dan YouTube.
Larangan ini diberlakukan setelah pemerintah memberikan tenggat waktu satu minggu kepada perusahaan media sosial untuk mendaftar secara resmi di Nepal. Mereka diberi batas waktu hingga 3 September untuk melakukan registrasi di Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi.
Agar dapat tetap beroperasi di Nepal, platform-platform tersebut diwajibkan menunjuk perwakilan lokal, penanggung jawab keluhan, dan seorang pejabat yang bertugas mengawasi regulasi internal.
Sehari setelah tenggat berakhir, pemerintah mengeluarkan instruksi kepada Otoritas Telekomunikasi Nepal (NTA) untuk memblokir platform yang tidak mematuhi aturan. Seorang pejabat kementerian yang enggan disebutkan namanya mengatakan kepada Reuters bahwa beberapa platform, termasuk TikTok, Viber, dan WeTalk, telah melakukan registrasi.
(rds)