Negara sekutu dekat Amerika Serikat seperti Inggris, Kanada, Australia, mengakui Negara Palestina jelang sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan ini.
"Bestie" lain AS, termasuk Prancis dan negara Uni Eropa lain juga akan mengakui Negara Palestina. Pengakuan tersebut dianggap penting di tengah agresi brutal Israel di Jalur Gaza.
Namun, pengakuan tersebut juga terjadi di tengah perseteruan tarif impor tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke negara-negara lain termasuk sekutunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, apakah pengakuan ini jadi alat negosiasi sekutu AS melawan kebijakan tarif Trump?
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi menilai keputusan negara-negara Eropa itu mengambil langkah yang berlawanan dengan AS adalah perubahan cukup besar.
Amerika Serikat selama ini mendukung penuh Israel. Trump juga punya hubungan yang kuat dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
"Secara politik ini bisa saja berkembang ke arah ekonomi ketika Amerika katakanlah dengan sewenang-wenang menetapkan tarif dan itu merugikan negara-negara termasuk negara-negara Uni Eropa," kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Senin (22/9).
Trump menetapkan tarif impor tinggi ke Kanada sebesar 35 persen, ke Inggris sebesar 25 persen, dan ke Australia sebesar 10 persen.
Pemerintahan Inggris terus berusaha melobi tarif itu dan sepakat menurunkan tarif impor mobil dan produk dirgantara.
Prancis juga tak kalah meradang dengan tarif impor yang ditetapkan Trump sebesar 30 persen. Yon memandang tindakan AS sewenang-wenang dan mengganggu negara lain.
Saat ramai tarif impor itu dan agresi yang kian brutal Israel di Gaza membuat negara-negara Eropa memilih jalan lain dan tak mengikuti AS. Mereka bahkan terang-terangan melontarkan kritik atau menyebut genosida terhadap tindakan pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Yon juga menilai pengakuan negara Eropa ke Palestina bisa menjadi alat negosiasi mereka ke AS terkait ekonomi.
"Dan mungkin saja peristiwa politik ini juga menjadi proses negosiasi di dalam masalah tarif yang sudah ditentukan Trump itu," ungkap dia.
Lebih lanjut, Yon mengatakan pengakuan terhadap Palestina akan membuat AS dan negara Eropa menilai ulang aliansi yang sudah terbangun selama ini.
Kondisi tersebut juga akan membuat AS di bawah Trump mempertimbangkan kekuatan unilateral atau kembali bekerja sama secara erat dengan sekutu-sekutunya.
Di kesempatan ini, Yon juga menegaskan pengakuan negara-negara itu tak murni karena alasan kemanusiaan atau peduli terhadap Palestina.
Dalam hubungan internasional, kata dia, negara-negara tetap memprioritaskan kepentingan nasional masing-masing entah secara politik atau ekonomi untuk memberi pengakuan terhadap Palestina.
"Jadi kita tidak bisa menemukan hanya murni serta merta kepedulian atau nilai-nilai kemanusiaan saja. Jadi tentu lebih pada kepentingan: ada enggak kepentingan ekonomi di baliknya, ada enggak kepentingan politik domestik yang membuat mereka mengambil sikap itu karena melemahnya dukungan politik untuk kepentingan kekuasaan di masing-masing negara," ungkap dia.
Dalam beberapa bulan terakhir, politik Prancis juga bergejolak. Presiden Emmanuel Macron sudah berulang kali mengganti perdana menteri.
Dia juga menghadapi gelombang demonstrasi belakangan ini memprotes kebijakan Macron yang dianggap tak pro rakyat seperti memangkas layanan sosial dan mengusulkan penghematan anggaran yang membebani kelas menengah. Seruan presiden juga terus bergema.
Selain Prancis, Inggris juga mengalami gejolak. Awal September, Angela Rayner mundur dari posisi Wakil PM. Pemerintahan dia juga terguncang dengan demo anti imigrasi beberapa waktu belakangan.
Australia juga tak kalah panas. Pada awal September, warga dari berbagai kelompok menggelar unjuk rasa dengan tuntutan yang berbeda. Beberapa menggemakan dukungan Palestina, yang lain menyerukan anti korupsi.
"Jadi kalau secara kemanusiaan atau dari sisi kepedulian untuk kondisi sekarang ini nampaknya sulit ditemukan, karena tidak ada. Apa yang menghubungkan solidaritas, apa yang menghubungkan negara Eropa dengan Palestina? Nah, ini perlu dilihat," ucap Yon.
Pemerintah negara-negara tersebut, kata dia, memutuskan untuk mengakui Palestina karena pandangan rakyat Eropa yang menunjukkan solidaritas global terhadap Palestina.
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) Sya'roni Rofii juga punya penilaian serupa. Dia menganggap pengakuan negara Eropa terhadap Palestina merupakan upaya menyerap aspirasi rakyat alih-alih atas inisiatif pemerintah sendiri.
Namun, Sya'roni mengatakan pengakuan itu tak beririsan dengan kepentingan ekonomi.
"Saya melihat isu perdagangan tidak dalam kerangka dukungan Eropa terhadap Palestina. Para pemimpin Eropa cenderung mendengar aspirasi publik domestik yang mendukung Palestina," kata Sya'roni.
Meski begitu, dia mengakui hubungan Eropa-AS terutama di era Trump mengalami kemunduran. Bagi negara-negara di benua Biru, Negeri Paman Sam dianggap tak kooperatif dalam melindungi kepentingan mereka.