Posisi ketiga diraih oleh pemimpin Uni Soviet (Rusia) Nikita Khrushche yang berpidato sepanjang 140 menit atau hanya terpaut empat menit dari Sekou Toure dari Guinea. Nikita berbicara pada sidang pleno ke 869 23 September 1960.
Presiden Sukarno pidato di PBB selama 121 menit atau 2 jam. Pidato yang berlangsung pada 30 September 1960 itu mengambil judul "To Build a World Anew" (Membangun Dunia Baru Kembali). Seperti biasa Bung Karno tampil berjas dan memaki peci kebanggaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari situs arsip nasional RI, disebutkan pidato Bung Karno merupakan pidato bersejarah dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia. Bahkan pidato tersebut memberi pengaruh kuat bagi negara-negara dunia ketiga dalam melawan penindasan dan kolonialisme yang kala itu masih bercokol di sebagian dunia ketiga.
Situasi dunia kala itu, terbagi dalam dua blok timur dan barat. Timur diwakili oleh Rusia dan barat oleh Amerika Serikat, dan mereka sedang menancapkan pengarunya di dunia. Namun Soekarno mengingatkan pentingnya tata dunia baru yang lebih berkeadilan.
Tidak heran, pada 2023 isi pidato Bung Karno itu telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO. Penetapan tersebut dilakukan dalam sidang pleno oleh Executive Board UNESCO pada 10-24 Mei 2023.
Posisi kelima ditempati oleh pemimpin revolusi Libya Kolonel Muammar Khadafi yang berpidato selama 96 menit atau 1,5 jam.
Pidato yang berlangsung pada 23 September 2009 itu, merupakan pidato pertama sekaligus terakhir Khadafi. Sebab setelah itu, terjadi kerusuhan di Libya dan menyebabkan Khadafi ditangkap pada 2011 oleh Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya atas dukungan penuh Amerika Serikat.
Dalam pidato di PBB, Khadafi menuduh negara-negara besar di Dewan Keamanan mengkhianati prinsip-prinsip Piagam PBB. "Pembukaan (piagam PBB) menyatakan semua negara sederajat apakah mereka kecil atau besar," kata khadafi.
Setelah membaca salinan Piagam PBB, Khadafi mengutuk hak veto yang dimiliki lima anggota tetap DK, satu butir merujuknya sebagai "dewan teror". Berbicara melalui seorang penerjemah, ia berkata: "Hak veto bertentangan dengan piagam itu, kami tidak menerimanya dan kami tidak mengakuinya," katanya.
(imf/bac)