Jakarta, CNN Indonesia --
Kesepakatan gencatan senjata antara Hamas Palestina dan Israel tidak berjalan mulus.
Hal itu terlihat dari tindakan Israel yang tetap saja melakukan penyerangan ke Gaza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terbaru, Israel menembak mati empat warga Jalur Gaza, Senin (20/10). Sumber lain menyebut dua warga Palestina tewas dalam serangan drone Israel di area Ash Shuaf dan Al Tuffah, demikian dikutip Anadolu Agency.
Menurut sejumlah saksi mata lokasi tempat kedua korban terakhir tewas adalah area yellow line (garis kuning) atau zona penarikan batas pasukan Israel. Yellow Line merupakan garis demarkasi yang memisahkan wilayah operasi pasukan Israel dan kebebasan bergerak warga Palestina.
Perjanjian gencatan Hamas-Israel menetapkan penarikan sebagian pasukan Zionis dari sejumlah wilayah di Gaza ke posisi baru yang disebut garis kuning.
Militer Israel mengakui pasukan telah menembaki beberapa warga Palestina. Namun, mereka tak mau disalahkan dan berdalih warga lah yang melewati batas garis kuning.
Ternyata sejak lama Israel sering melanggar kesepakatan damai dengan Palestina. Hal itu pernah disampaikan Pemimpin Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat saat bertemu Presiden Soeharto pada 1993 silam, kala Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non Blok (GNB).
Persetujuan perdamaian Israel-Palestina yang ditanda-tangani di Washington pertengahan September 1993 oleh Yasser Arafat dan PM Israel Yitzah Rabin dalam pelaksanaannya dinilai banyak sekali terjadi kesulitan serius, dan praktis tidak ada kemajuan dalam pelaksanaan oleh Israel.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Non Blok (GNB) pernah menerima kunjungan PM Israel Yitzhak Rabin di Jakarta, dalam pertemuan rahasia di Jalan Cendana, Jakarta tahun 1993, dikutip dari Soeharto Library.
Kala itu, Soeharto berterus terang meminta agar Israel serius menepati kesepakatan Oslo I yang sudah ditandatangani di Washington.
"Presiden mendengarkan dengan sungguh-sungguh penjelasan Presiden Arafat. Presiden Soeharto mengatakan, di Jakarta pun pada saat bertemu dengan PM Yitzhak Rabin telah ditekankan pentingnya Israel melaksanakan dengan penuh kejujuran kesepakatan Washington," kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kala itu.
Perjanjian Oslo I tahun 1993 adalah kesepakatan yang ditandatangani antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 13 September 1993 di Washington, DC, yang menjadi dasar untuk pembentukan Otoritas Palestina dan penarikan bertahap pasukan Israel dari Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Perjanjian ini merupakan hasil dari negosiasi rahasia yang dilakukan di Oslo, Norwegia, dan bertujuan untuk menciptakan kerangka kerja guna menyelesaikan konflik Israel-Palestina
Arafat sendiri kepada pers mengatakan, Israel ternyata tidak mematuhi perdamaian yang telah disepakati bersama, terutama tentang penarikan pasukan dari Jalur Gaza dan Jericho. Dengan demikian, ia tidak bisa membangun kawasan yang sudah hancur itu.
"Sebaliknya kini yang masih tetjadi adalah kekerasan Israel yang dilakukan terhadap rakyat saya. Israel tetap melakukan kekerasan terhadap rakyat saya, terutama wanita dan anak-anak, dan hal itu terjadi hampir setiap hari," katanya.
Sikap Israel ini semakin banyak menimbulkan korban jiwa, dan hal ini harus secepatnya dihentikan.
Ditanya, kapan akan meninggalkan Jericho, Arafat mengatakan, pihaknya tetap mematuhi isi perundingan Washington dan kini pihak Israel harus bersikap sama.
Dikatakan, ia memerlukan sekitar US$13 miliar untuk membangun wilayah yang tercantum dalam perundingan damai itu, dan dana itu diurusi oleh Komite Donor untuk Pembangunan Kembali Negara Palestina.
Tapi menurut Arafat, yang diterimanya saat itu baru US$2,2 miliar dollar.
"Padahal seluruh infrastruktur yang kami miliki seperti penyediaan air bersih, telekomunikasi, rumah sakit, listrik, dan sebagainya sudah hancur lebur," kata Arafat.
Kondisi yang ada saat ini di Jalur Gaza dan Jericho, tambahnya, harus dimulai lagi dari nol, bahkan di bawah nol, dan ini memerlukan biaya sangat banyak.