Kenapa Eropa Tolak Proposal Damai Ukraina-Rusia Gagasan Trump?
Proposal damai 28 poin yang diusulkan Amerika Serikat untuk mengakhiri perang Rusia vs Ukraina ditolak mentah-mentah oleh Uni Eropa.
Negara-negara Eropa khawatir draf tersebut akan sangat merugikan Ukraina.
Pada Rabu (19/11), media-media Barat melaporkan bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah menyusun rencana untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina yang terdiri dari 28 poin. Penyusunan draf itu disebut-sebut tidak melibatkan Kyiv.
Trump telah menetapkan batas waktu bagi Ukraina untuk menyetujui proposal tersebut paling lambat 27 November.
Kendati demikian, setelah mendapat penolakan dari para pemimpin Eropa, AS pun melunak. Trump mengatakan rencana tersebut belum final dan seiring dengan itu AS melakukan pembicaraan dengan diplomat Ukraina serta Eropa di Jenewa guna membahas proposal tersebut.
Kenapa Eropa menolak?
Dilansir dari Al Jazeera, negara-negara Eropa umumnya menilai draf rencana damai ini merupakan bentuk kapitulasi atau ketundukan terhadap tuntutan Rusia.
Pasalnya, dalam proposal tersebut, terdapat klausul penyerahan sejumlah wilayah Ukraina serta pemangkasan jumlah personel angkatan bersenjata Kyiv.
Kyiv diminta menyerahkan Luhansk, Donetsk, dan Crimea, yang sejak lama diincar Rusia. Kyiv juga diwajibkan membekukan Kherson dan Zaporizhzhia yang merupakan garis depan.
"Elemen ketiga adalah pengurangan kapasitas angkatan bersenjata Ukraina dari 900.000 menjadi 600.000 personel. Hal ini secara luas dianggap Ukraina sebagai konsesi besar yang tidak bisa mereka berikan," kata Hashem Ahelbarra dari Al Jazeera.
Keberatan ini diutarakan oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Ia menegaskan perbatasan Ukraina tidak boleh diubah dengan paksa dan tidak boleh ada pembatasan terhadap militer Ukraina.
Ia juga menekankan bahwa Uni Eropa harus menjadi pusat dalam mengamankan perdamaian bagi Ukraina.
"Ukraina harus memiliki kebebasan dan hak berdaulat untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka telah memilih Eropa," kata von der Leyen.
Para pemimpin Eropa dan negara-negara Barat juga menyuarakan keresahan yang sama di sela-sela KTT G20 di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam pernyataan bersama, para pejabat menekankan bahwa "perbatasan tidak boleh diubah dengan paksa" dan bahwa pembatasan militer Ukraina akan membuat Kyiv "rentan terhadap serangan di masa mendatang".
"Kami siap terlibat untuk memastikan perdamaian di masa depan berkelanjutan. Kami berpegang teguh pada prinsip bahwa perbatasan tidak boleh diubah dengan paksa," demikian pernyataan bersama yang ditandatangani Inggris, Kanada, Finlandia, Prancis, Spanyol, Italia, Jepang, Belanda, Jerman, Norwegia, dan Irlandia.
Para pemimpin juga menyatakan setiap keputusan mengenai NATO dan Uni Eropa memerlukan persetujuan dari negara-negara anggota.
Dalam salah satu poin proposal Trump, disebutkan bahwa Ukraina harus janji tak akan bergabung dengan NATO, yang mesti diuraikan dalam konstitusi. NATO juga diminta mencantumkan dalam undang-undangnya bahwa mereka tak akan menerima Ukraina sebagai anggota.
Pembicaraan para pejabat di Jenewa pun diprediksi membahas soal syarat-syarat ini. Sejauh ini, pejabat yang ikut dalam perundingan, yakni perwakilan Ukraina, Jerman, Prancis, Inggris, Uni Eropa, AS, serta Rusia.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio; utusan khusus Trump, Steve Witkoff; dan Menteri Angkatan Darat AS Daniel Driscoll akan terlibat langsung dalam pembicaraan.
Dalam unggahan di X pada Minggu (23/11), Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berharap pembicaraan di Jenewa menghasilkan kesepakatan positif. Zelensky sejak awal ingin agar perang dihentikan dan pada saat yang sama Ukraina tidak dirugikan.
"Saya menantikan hasil perundingan hari ini dan berharap semua pihak bersikap konstruktif. Kita semua butuh hasil yang positif," tulis Zelensky.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer sementara itu telah menyatakan kejengkelannya pada Rusia yang menurutnya "sudah berulang kali berpura-pura serius tentang perdamaian" karena tindakan Moskow selalu berseberangan.
Presiden Prancis Emmanuel Macron juga memperingatkan bahwa Rusia berpotensi berkhianat jika angkatan bersenjata Ukraina benar-benar dipangkas. Hal itu berbahaya karena Ukraina tak akan punya postur pertahanan yang kuat.
"Rusia tidak punya hak hukum apa pun atas konsesi dari negara yang diserbunya," kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas.
Zelensky pada kesempatan terpisah telah menyatakan bahwa saat ini adalah masa-masa sulit bagi Kyiv. Di satu sisi, Kyiv ingin perang segera berhenti, namun di sisi lain Kyiv tidak boleh sampai kehilangan martabat.
"Saat ini adalah salah satu momen tersulit dalam sejarah kami. Tekanan terhadap Ukraina saat ini merupakan salah satu yang terberat. Ukraina kini menghadapi pilihan yang sangat sulit, kehilangan martabat atau berisiko kehilangan mitra utama," ujar Zelensky dalam kesempatan terpisah.
Sekelompok senator AS sebelumnya mengatakan bahwa draf rencana perdamaian yang bocor ini merupakan "daftar keinginan" dari Rusia. Mereka mengaku tahu hal itu dari Rubio.
Namun, Rubio membantah dan menegaskan draf tersebut dibuat oleh AS dan berdasarkan masukan dari Rusia dan Ukraina.
(blq/rds)