Minim Reformasi, Pakistan Dinilai Terlalu Bergantung ke Pinjaman LN

CNN Indonesia
Selasa, 25 Nov 2025 04:42 WIB
Ilustrasi. Foto: AFP/SANAULLAH SEIAM
Jakarta, CNN Indonesia --

Mantan duta besar Pakistan untuk Niger dan Sudan, Muhammad Alam Brohi, menilai kondisi sosial-ekonomi Pakistan saat ini berada dalam titik mengkhawatirkan, ditandai melonjaknya populasi, merosotnya layanan dasar, serta meningkatnya tekanan politik terhadap masyarakat sipil.

Brohi mengatakan bahwa rakyat Pakistan kini hidup dalam "kemiskinan dan kesengsaraan" dengan akses terbatas terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan air bersih.

Menurut Brohi, masyarakat Pakistan menunjukkan tingkat apati yang semakin tajam akibat kerasnya kehidupan sehari-hari.

"Mereka hidup dalam kekaguman dan ketakutan terhadap kekuatan koersif negara," ujarnya, seraya menambahkan bahwa hak-hak fundamental publik ditindas, sementara kebutuhan konstitusional mereka diabaikan tanpa empati.

Ia mempertanyakan apakah kondisi ini merupakan "keheningan sebelum badai" atau sinyal hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Brohi menyoroti minimnya alokasi anggaran untuk sektor sosial, terutama pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kesejahteraan publik. Ia mencatat kenaikan angka kemiskinan, tingginya tingkat kematian anak, serta rendahnya prioritas pemerintah terhadap pengembangan manusia.

Selain itu, Brohi juga menyebut bahwa lebih dari 22 juta anak Pakistan berusia 5-15 tahun tidak bersekolah, sementara lebih dari 20.000 sekolah di Sindh yang rusak akibat banjir "masih belum difungsikan kembali."

Selain itu, Brohi mengkritik meningkatnya kasus penyiksaan dan pembunuhan dalam tahanan oleh aparat kepolisian, yang menurutnya bahkan melibatkan pejabat tingkat atas. Ia menilai demokrasi di Pakistan telah berubah menjadi otoritarianisme.

"Demokrasi telah berubah menjadi olok-olok dan digantikan oleh otokrasi yang menindas," katanya, sembari menyinggung pernyataan mantan Perdana Menteri Shahid Khaqan Abbasi bahwa ia hanya diperbolehkan "bertindak sebagai pegawai, bukan sebagai kepala eksekutif."

Ketergantungan ekonomi Pakistan

Dalam bidang ekonomi, Brohi menilai Pakistan terus bergantung pada bantuan luar negeri dan pinjaman luar negeri tanpa reformasi berarti.

Upaya reformasi agraria dari era Ayub Khan hingga Zulfikar Ali Bhutto disebutnya sebagai "pura-pura belaka." Ia juga menyebut industrialisasi masa Ayub hanya memperkaya segelintir dinasti bisnis, sementara kebijakan nasionalisasi Bhutto "menjadi bencana," membuat sektor privat tidak pernah pulih.

Brohi juga menyoroti kondisi buruk BUMN yang terus menumpuk utang, rendahnya rasio pajak terhadap PDB, serta lemahnya pengumpulan pajak akibat korupsi dan inefisiensi. Menurutnya, struktur pemerintahan membengkak dengan banyaknya menteri, penasihat, dan asisten khusus "yang masing-masing hidup dengan protokol layaknya raja pada abad pertengahan."

Ia menilai semua pemerintahan Pakistan gagal membendung pertumbuhan populasi, sementara kapasitas produksi dan sumber daya negara terus menurun. Data untuk perencanaan pembangunan pun dianggap tidak mendapat perhatian memadai. "Tambal-sulam menjadi pola kerja setiap rezim," katanya.

Brohi menggambarkan dua hingga tiga tahun terakhir sebagai fase "keputusasaan dan kekecewaan terbesar," ditandai pembungkaman kritik, pengekangan media, dan kriminalisasi terhadap satu partai politik yang dianggap menentang negara. Ia menyinggung praktik penghilangan paksa aktivis serta kemunculan mereka dalam konferensi pers yang diduga "direkayasa" untuk menyatakan mundur dari partai.

Brohi mengingatkan bahwa penggunaan kekuasaan koersif semacam ini pernah terjadi di masa lalu dan selalu berujung pada kebangkitan kembali kelompok politik yang ditekan. "Tidak ada pikiran sehat yang menganggap hasilnya kali ini akan berbeda," ujarnya.

Menurut Brohi, ancaman terbesar bagi Pakistan bukan datang dari luar, melainkan dari para elite itu sendiri. Ia menggambarkan mereka sebagai kelompok yang "mematuki tubuh negara seperti burung nasar," sembari menikmati fasilitas istimewa berupa sekolah elite, rumah sakit premium, serta jaringan perumahan mewah.

Ia mengutip laporan UNDP yang menyebut sekitar 6% PDB Pakistan, atau senilai USD300 miliar, "dikuras setiap tahun oleh elite melalui konsesi dan privilese yang tidak pantas."

Meski demikian, Brohi tetap menyatakan keyakinan bahwa nilai-nilai politik pada akhirnya akan menang atas represi.

"Saya percaya bahwa demokrasi akan menang atas otokrasi; kebebasan atas penindasan; keadilan atas ketidakadilan," ungkapnya, seraya memperingatkan bahwa apati publik dapat menjadi keruntuhan sebuah bangsa.

(dna)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK