Jakarta, CNN Indonesia --
Lanskap pendidikan Pakistan tersusun dalam tiga jalur paralel: sekolah pemerintah, institusi swasta, dan madrasah Deeni. Di antara ketiganya, madrasah menjadi bagian paling menonjol karena sejarah panjang dan orientasi religius yang kuat.
Namun, sistem ini juga memunculkan kekhawatiran menyangkut kualitas pendidikan, minimnya regulasi, serta keterbatasan keterampilan lulusan untuk memasuki dunia kerja modern.
Kekhawatiran itu kembali mencuat usai Menteri Pertahanan Pakistan Khawaja Asif melontarkan pernyataan dalam sesi Parlemen yang digelar di tengah meningkatnya ketegangan perbatasan dengan India.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terkait madrasah atau para santri, tidak diragukan lagi mereka adalah lini pertahanan kedua kita. Para pemuda yang belajar di sana, ketika waktunya tiba, akan digunakan 100 persen sesuai kebutuhan," ucapnya.
Pernyataan Asif menegaskan ketergantungan Pakistan terhadap institusi agama, sekaligus menunjukkan bagaimana madrasah sering dipolitisasi dalam konteks konflik dan keamanan nasional.
Sejak kemerdekaan pada 1947, jumlah madrasah di Pakistan meningkat tajam karena dianggap lebih terjangkau dan lebih mudah diakses dibanding sekolah negeri. Pakistan juga memberikan dukungan moral dan finansial, yang kemudian diperdalam pada masa Jenderal Zia-ul-Haq (1977-1988).
Di era tersebut, pendidikan agama menjadi pilar utama agenda Islamisasi di Pakistan. Jumlah madrasah melonjak dari sekitar 245 saat Pembagian India-Pakistan menjadi 10.000 pada 2002, dan diperkirakan 40.000 pada 2008. Namun, angka sebenarnya sulit dipastikan karena banyak madrasah tidak terdaftar dan beroperasi di luar sistem pengawasan formal.
Minimnya regulasi membuat pendaftaran lembaga, sumber pendanaan, dan kurikulum tidak transparan. Hal ini menyulitkan pemerintah dalam menyusun kebijakan integrasi pendidikan atau reformasi yang komprehensif. Variasi estimasi jumlah madrasah, serta ketertutupan sistemnya, menunjukkan betapa besar jurang informasi antara negara dan lembaga-lembaga tersebut.
Juru bicara militer Pakistan melalui ISPR juga pernah menyoroti persoalan krusial terkait banyaknya madrassa yang tidak terdaftar secara resmi.
"Kami menghadapi kesulitan karena tidak semua lembaga ini memiliki data yang jelas, baik terkait siswa maupun sumber pendanaan," ujarnya dalam sebuah pernyataan.
Ia menambahkan bahwa kurangnya transparansi tersebut "menjadi tantangan bagi upaya negara untuk memastikan pengawasan yang efektif."
Lingkungan Tertutup
Selama puluhan tahun, madrasah berperan sebagai lembaga kesejahteraan informal, menyediakan pendidikan, makanan, dan tempat tinggal gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Meski tampak sebagai kegiatan filantropi, pola ini memperkuat kesenjangan kelas. Anak-anak dari kelompok paling rentan cenderung masuk ke madrassa yang kurikulumnya tidak terkait dengan ekonomi modern.
Akibatnya, mereka terjebak dalam lingkaran pendidikan yang tidak menyediakan mobilitas sosial, karena lulusannya jarang memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja selain profesi keagamaan.
Sebagian besar madrasah mengikuti kurikulum tradisional yang tidak digunakan di wilayah Islam lain. Kurikulum ini sangat bertumpu pada hafalan dan studi teks-teks agama, umumnya diajarkan dalam bahasa Urdu, serta menolak pembaruan. Isolasi akademik semacam ini membuat lulusan tidak memiliki literasi modern maupun literasi digital yang dibutuhkan dalam dunia kerja masa kini.
Upaya reformasi yang diinisiasi negara sering kali gagal karena penolakan dari otoritas keagamaan, yang menganggap mata pelajaran modern sebagai sesuatu yang materialistis dan tidak sesuai dengan tujuan spiritual pendidikan Islam.
Lanjut ke sebelah...
Sektor madrasah juga terfragmentasi berdasarkan aliran keagamaan, dikelola oleh lima Wafaq besar yang mewakili mazhab Sunni, yakni Deobandi, Barelvi, Ahl-e-Hadith, serta Syiah dan Wahabi.
Masing-masing dewan mengatur kurikulumnya sendiri dan beroperasi semi-otonom, sehingga integrasi dengan sistem pendidikan nasional sulit dilakukan. Fragmentasi ini memperkuat segregasi ideologis, karena setiap aliran mendidik santri berdasarkan doktrin yang berbeda.
Banyak madrasah di Pakistan beroperasi dalam lingkungan tertutup, menciptakan isolasi sosial dan intelektual. Melalui ceramah, materi pembelajaran, dan penafsiran selektif terhadap teks agama, sebagian madrasah mendorong pandangan kaku dan eksklusif yang memupuk intoleransi.
Dalam beberapa kasus, hal ini memberi ruang bagi ideologi yang membenarkan kekerasan dalam konteks geopolitik. Aktor politik memanfaatkan pola ini untuk menggalang dukungan di wilayah konflik seperti Palestina, Afghanistan, dan Kashmir, menempatkan madrasah sebagai instrumen mobilisasi ideologis ketimbang lembaga pendidikan modern.
Laporan International Crisis Group mengenai pendidikan agama di Pakistan menyebutkan bahwa madrasah kerap berada di persimpangan antara agama dan politik. "Banyak sekolah keagamaan berkembang di ekosistem yang dipengaruhi oleh kebutuhan geopolitik dan kepentingan politik negara," tulis ICG.
Dualisme pendidikan yang memisahkan sistem publik/swasta sekuler dari pendidikan religius turut memperdalam marginalisasi. Pemerintah-pemerintah Pakistan sebelumnya berupaya mereformasi madrash, tetapi langkah tersebut lebih banyak didorong kepentingan politik jangka pendek daripada visi pendidikan jangka panjang.
Ketika reformasi menyentuh kurikulum atau pengawasan reguler, resistensi muncul karena dianggap mengancam identitas Islam yang melekat pada negara Pakistan sejak awal berdirinya.
Dominasi Madrasah di Pakistan
Meski memiliki peran historis dan sosial yang signifikan, sistem madrasah modern tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin plural dan kompleks.
Sementara lembaga-lembaga tersebut tetap menjadi sumber utama pendidikan agama dan jaring pengaman sosial bagi kelompok miskin, sistem ini semakin terpinggirkan dari dunia pendidikan global. Penolakannya terhadap reformasi, ketergantungan pada kurikulum lama, serta struktur yang terfragmentasi membuat madrassa semakin terlepas dari tuntutan zaman.
Sebagian pengamat menilai bahwa dunia modern menuntut cendekiawan agama yang mampu menafsirkan ajaran Islam secara relevan, kontekstual, dan intelektual.
Dengan meningkatnya kompleksitas hubungan antara agama dan kehidupan kontemporer, mulai dari teknologi, ekonomi, hingga geopolitik, kebutuhan akan ulama yang memahami konteks global pun meningkat. Namun, sistem pendidikan agama Pakistan belum menyediakan jalur modern yang dapat menghasilkan jenis intelektual semacam itu.
Pertanyaan fundamental pun mengemuka: mengapa negara yang dibangun di atas dasar ideologi Islam tidak mampu mengembangkan alternatif modern bagi pendidikan agama, seperti yang dilakukan banyak negara di dunia Islam?
Ketika negara-negara lain berhasil menggabungkan tradisi keagamaan dengan kurikulum modern, Pakistan justru tetap mengandalkan madrassa tradisional tanpa pengembangan institusi pendidikan agama yang progresif.
Hingga kesenjangan ini teratasi, madrasah akan tetap mendominasi lanskap pendidikan religius di Pakistan, lembaga yang berakar kuat dalam tradisi, tetapi belum mampu menyiapkan siswa menghadapi tantangan ekonomi dan sosial dunia modern.
Sistem yang semula berfungsi sebagai pilar pendidikan agama kini berada pada titik kritis, di mana ketidakmampuannya beradaptasi dapat memperpanjang siklus keterbelakangan sosial dan ekonomi bagi jutaan warganya.