Kongres Dunia Uyghur (WUC) meningkatkan kampanye global untuk membela masyarakat Uyghur dengan memobilisasi berbagai platform budaya, politik, dan hak asasi manusia di Eropa dan Asia guna mengungkap represi China serta melawan perluasan pengaruh Beijing.
Dalam pengarahan mingguan, WUC menggelar sejumlah kegiatan yang menyoroti pelanggaran HAM di Xinjiang serta meningkatnya tekad kelompok Uyghur dan para pendukungnya untuk menentang jangkauan otoritarianisme China, demikian laporan pada Kamis (27/11).
"Kegiatan di Jerman, Turki, Thailand, dan Inggris menyoroti penahanan massal, penghapusan budaya, pengawasan digital, serta kerja paksa. Pada saat yang sama, laporan baru mengungkap meningkatnya tekanan yang dilakukan Beijing terhadap pemerintah asing, lembaga, dan universitas untuk membungkam kritik," tulis surat kabar Asian Lite.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perkembangan sepanjang pekan ini menggambarkan situasi yang suram: ketika China memperdalam represi di dalam negeri, upayanya membentuk narasi global juga semakin agresif," lanjutnya.
Di Munich, pelukis Kazakh-Uyghur Ahmet Akhat membuka pameran seni selama tiga hari di Kastil Blutenburg yang menampilkan tradisi Jalur Sutra dan identitas budaya Uyghur. Acara yang didukung oleh Nurnisa Ismail itu dihadiri oleh warga lokal Jerman, diaspora Uyghur, serta kalangan akademisi.
Pameran tersebut memadukan seni, pertunjukan, dan ekspresi politik. Penyelenggara menyebutnya sebagai penghormatan terhadap warisan budaya Uyghur sekaligus pengingat rapuhnya kebudayaan di bawah kebijakan asimilasi yang disahkan negara.
Di Istanbul, Turkey Unity Foundation menggelar kegiatan bertajuk "The Unheard Cries of East Turkistan." Forum ini mengkritik kebijakan China yang disebut mencakup genosida, pengawasan massal, dan penekanan terhadap budaya.
Wakil Presiden WUC, Abdureshit Abduhamit, menyoroti hubungan historis Turki dengan perjuangan Uyghur serta memperingatkan bahwa ribuan pengungsi Uyghur masih berada dalam ketidakpastian hukum seiring meningkatnya tuntutan deportasi dari China.
Sementara itu di Bangkok, Presiden WUC Turgunjan Alawdun bersama mantan Presiden WUC Dolkun Isa menghadiri International Civil Society Week (ICSW) 2025 yang diikuti hampir seribu aktivis pro-demokrasi.
Dalam forum bertema "Reimagining Democracy, Rights, and Inclusion" tersebut, perwakilan WUC menyerukan masyarakat sipil global untuk menghadapi pelanggaran HAM yang dilakukan China dan menentang upaya Beijing mengekspor model pemerintahan otoriternya.
Asian Lite juga melaporkan bahwa harian ekonomi Jerman Handelsblatt menerbitkan laporan investigatif yang mengutip Wakil Presiden WUC Zumretay Arkin. Ia memperingatkan bahwa "Undang-Undang Persatuan Etnis" China diduga melemahkan hak bahasa Uyghur dan melembagakan asimilasi budaya.
Dalam wawancara terpisah dengan Radio Canada, Arkin mendesak pemerintah Kanada mengadopsi undang-undang larangan produk kerja paksa yang serupa dengan Uyghur Forced Labour Prevention Act di Amerika Serikat, dengan alasan rantai pasok global masih terkontaminasi kerja paksa di Xinjiang.
Pada 5 November, National Endowment for Democracy (NED) memberikan Democracy Award 2025 kepada Ketua Komite Eksekutif WUC, Rushan Abbas, sebagai pengakuan atas kerja advokasinya serta pengorbanan pribadi yang dialaminya, termasuk hilangnya sang adik, Dr Gulshan Abbas, dalam sistem penahanan di Xinjiang.
Pada hari yang sama, para pejabat WUC juga menghadiri upacara peringatan di Memorial Kamp Konsentrasi Dachau untuk mengenang korban bangsa Turkik di era Nazi, sekaligus menyampaikan kemiripan dengan praktik represi negara yang terjadi di China saat ini.