Seperti Kongo, Burundi pun memiliki hutan yang luas. Pada tahun 2020, laporan Global Forest Watch mencatat bahwa Burundi memiliki 465.000 hektare hutan alami, yang mencakup lebih dari 17 persen wilayahnya. Namun pada 2023, negara tersebut telah kehilangan 2.350 hektare, setara dengan 2,41 juta ton emisi CO2.
Ekspansi pertanian merupakan salah satu pendorong utama deforestasi. Seiring dengan terus menyusutnya lahan pertanian dan meningkatnya jumlah penduduk yang perlu diberi makan, kawasan hutan ditebang untuk memberi ruang bagi tanaman pangan.
Faktor lainnya adalah bahan bakar. Lebih dari 85 persen penduduk Burundi tinggal di daerah pedesaan, dan sebagian besar, hampir 80 persen, bergantung pada pembakaran kayu untuk memasak. Akibatnya, tingkat deforestasi di negara itu terus meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski kaya hasil hutan, rakyat Burundi justru menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kelangkaan lahan dan pertumbuhan penduduk yang cepat hingga praktik pertanian yang buruk dan meningkatnya kerawanan pangan dan gizi.
Menurut data Global Hunger Index, tingkat kemiskinan dan kekurangan gizi di seluruh Burundi tetap tinggi. Angka stunting di antara anak-anak di bawah usia lima tahun mencapai 57,5%, dengan wasting sebesar 6,1% dan kekurangan berat badan sebesar 29,1%.
Sebanyak 81% penduduk Burundi diklasifikasikan sebagai miskin, dengan 50% hidup dalam kemiskinan parah. Angka kematian anak di bawah usia lima tahun adalah 82 per 1.000 kelahiran hidup.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pemilik hutan terluas di dunia. Data dari Indonesia.go.id menuliskan, menurut data Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2022, Indonesia menempati urutan kedelapan negara dengan tutupan hutan terluas di dunia. FAO mencatat, luas hutan Indonesia mencapai 92 juta hektare (ha).
Sedangkan melansir data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per 2023, luas hutan Nusantara ditetapkan seluas total 125,7 juta ha atau 65,5 persen dari luas daratan.
Sebanyak 57,1 persen berupa hutan produksi, 24,5 persen berbentuk hutan lindung, dan 18,4 persen adalah hutan konservasi. Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999, hutan produksi adalah kawasan hutan yang berfungsi memproduksi hasil hutan seperti kayu, rotan, bambu, getah, buah, madu, daun, dan lainnya.
Namun, hutan yang luas itu terus tergerus. Pembukaan lahan baru, pembalakan liar ditambah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi penyebab terjadinya deforestasi tersebut.
Kementerian Kehutanan merilis angka deforestasi netto tahun 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu hektar. Angka ini diperoleh dari deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare dikurangi hasil reforestasi yang mencapai 40,8 ribu hektare.
Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare (92,8%), di mana 69,3% terjadi di dalam kawasan hutan dan sisanya di luar kawasan hutan.
Data Forest Watch Indonesia mencatat total laju deforestasi dalam dua tahun mencapai 1,93 juta hektare (2021-2023). Deforestasi dilakukan secara terencana dalam konsesi kehutanan seperti PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), termasuk di konsesi hutan alam (HA), hutan tanaman (HT), dan restorasi ekosistem (RE).
Deforestasi juga terjadi di areal kebun sawit melalui skema pelepasan kawasan hutan dan dalam perizinan Perhutanan Sosial.
Dan yang miris, kekayaan hutan Indonesia tidak memberikan kesejahteraan bagi warga, terutama yang tinggal di sekitar hutan.
Laman Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut satu dari delapan kantong kemiskinan adalah masyarakat di sekitar hutan.
Pada tahun 2021 saja, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis ada 25.863 desa yang berada di sekitar kawasan hutan dengan 36,7% termasuk kategori miskin.
Pada Maret 2021, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,49 orang anggota keluarga. Dengan demikian, garis kemiskinan per rumah tangga rata-rata sebesar Rp 2.121.637 per rumah tangga miskin per bulan.
Data lebih lama dari BPS menujukkan tahun 2003 tercatat sekitar 48,8 juta jiwa atau 22 persen dari 219,9 juta penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, 10,2 juta jiwa di antaranya masuk dalam klasifikasi penduduk miskin.
Tahun 2025, Kementerian Kehutanan mencatat sebanyak 9.291 desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan masih tergolong miskin.
Data resmi BPS mencatat Maret 2025 menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 23,14 juta jiwa atau sekitar 8,8% dari total populasi nasional. Dari jumlah tersebut, sekitar 11,72 juta jiwa (50,6%) berada di kawasan perdesaan.
(imf/bac)