Junta militer Myanmar mendakwa lebih dari 200 orang atas tuduhan melanggar undang-undang pemilihan umum (pemilu).
Langkah ini dilakukan saat Myanmar akan menggelar pemilu pada akhir Desember ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Dalam Negeri Myanmar Letnan Jenderal Tun Tun Naung mengatakan pihak berwenang telah mengidentifikasi dan mengambil tindakan terhadap 229 orang, dengan rincian 201 laki-laki dan 28 perempuan, dalam 140 kasus dugaan upaya sabotase pemilu.
Surat kabar yang dikelola pemerintah, Myanma Alinn, tidak memberikan rincian mengenai berapa banyak warga yang telah ditangkap dalam proses tersebut.
Junta militer mengesahkan undang-undang pemilu pada Juli lalu yang menyatakan bahwa siapa pun yang berbicara, mengorganisir, menghasut, memprotes, maupun menyebarkan surat untuk mengganggu proses pemilu akan dihukum penjara antara tiga hingga 10 tahun, serta dikenakan denda. Pelanggaran pemilu lainnya bahkan bisa dihukum mati.
Media pemerintah Myanmar sebelum ini merilis nama-nama sejumlah orang yang didakwa, di antaranya yakni aktivis terkenal Tayzar San, Nan Lin, dan Htet Myat Aung.
Mereka memimpin protes berani pada 3 Desember lalu di Kota Mandalay yang menyerukan masyarakat untuk menolak pemilu, menuntut pemerintah menghapus undang-undang wajib militer, serta mendesak junta membebaskan tahanan politik.
Para kritikus telah memperingatkan bahwa pemilu yang akan digelar pada 28 Desember mendatang tidak akan bebas dan adil, serta cuma akan menambah legitimasi pemerintahan militer.
Junta militer mengambil alih pemerintah Myanmar setelah menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 lalu.
Militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dengan dalih adanya penyimpangan. Namun, pengamat pemilu independen menyatakan tak ada masalah substantif.
Selain para aktivis, media pemerintah juga melaporkan bahwa mereka yang didakwa termasuk pembuat film, aktor, komedian, anak-anak, anggota Pasukan Pertahanan Rakyat selaku milisi pro-demokrasi, serta anggota kelompok bersenjata etnis yang melawan militer.
Sebagian besar didakwa karena dilaporkan merusak poster kampanye, mengancam atau menangkap petugas petugas pemilu, dan mengunggah komentar di media sosial.
Sejumlah media lokal menyebut beberapa di antara para terdakwa telah dijatuhi hukuman hingga 49 tahun penjara, dikutip dari CNN.
(blq/bac)