Jakarta, CNN Indonesia -- Tindak kejahatan memang bisa dilakukan oleh siapapun, bahkan tidak mengenal batas hubungan personal. Hal tersebut kerap diucapkan Bang Napi, salah satu pengisi acara berita di RCTI TV beberapa tahun lalu.
Awal November 2017, pernyataan Bang Napi tersebut mendapatkan legitimasi dari peristiwa pembunuhan dr. Letty. Dokter ini dibunuh oleh suaminya sendiri yang juga merupakan seorang dokter. Bagaimana bisa seorang suami tega menghabisi nyawa istrinya sendiri? Meskipun belum memiliki keturunan, namun peristiwa ini tentu menyisakan kegetiran bagi keluarga dr. Letty. Isak haru mewarnai pemakamannya.
Pembunuhan ini termasuk dalam kategori pembunuhan terencana dan pelakunya tercanam hukuman mati. Dalam keterangannya, pelaku membunuh karena permintaannya kepada korban untuk membatalkan proses perceraian ditolak. Pelaku yang dikenal temperamental tidak berpikir panjang dan menembak istrinya. Ketika ditanya lebih lanjut ia mengaku mendapatkan bisikan misterius.
Kejahatan dr. Helmy pada istrinya juga bisa digolongkan sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Angka KDRT di Indonesia terbilang tinggi, berdasarkan angka yang dihimpun Komisi Nasional Perempuan Indonesia tahun 2016 terdapat 254.548 kasus KDRT atau 94 persen dari total 259.150 kekerasan pada perempuan. Data ini mengindikasikan bahwa terdapat anggapan bahwa masih kuatnya dominasi laki-laki atas perempuan di Indonesia.
Anggapan yang sama juga bekerja untuk kasus pembunuhan dr. Letty. Keengganan dr. Letty untuk memenuhi permintaan korban terkait pembatalan perceraian membuat kepentingan pelaku tersinggung. Hal ini memantik motivasi pelaku untuk menunjukkan dominasinya terhadap sang istri. Penembakan langsung tersebut merupakan bentuk legitimasi terhadap dominasi tersebut.
Meskipun penanganan KDRT telah memiliki kekuatan hukum dalam UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2004, namun dalam praktiknya penegakan hukum kasus KDRT dinilai masih sulit untuk dilakukan. Mengingat sebagian aparat penegak hukum belum memiliki pemahaman tentang gender.
Dilansir dari detik.com, Indaswari Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan mengamini dugaan saya. “Agar UU itu dapat diimplementasikan perlu dipakai kacamata gender kan, kalau tidak ya itu seperti sebagian kasus yang saya terima, UU ini justru digunakan untuk mengkriminalisasi korban yang mengaminya,” ungkapnya.
Perjuangan Memuliakan Perempuan
Kasus pembunuhan dr. Letty tidak hanya melukai hati keluarga yang ditinggalkan namun juga seluruh perempuan di dunia. Kekerasan terhadap perempuan hingga berujung kematian memang tidak hanya dialami oleh dr. Letty seorang. Banyak perempuan di dunia yang mengalami tindak kekerasan baik fisik, verbal, non verbal, hingga kekerasan seksual.
Mengingat perjuangan memuliakan perempuan, saya teringat kisah tokoh Minke dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramudya Anantatoer. Minke diceritakan sebagai seorang pembaharu dan penentang penjajahan kolonial lewat tulisan-tulisannya. Dikisahkan juga perjuangan pergerakan perempuan seperti RA Kartini dan Dewi Sartika dalam memperjuangakan kesamaan hak dengan pria.
Dalam buku kedua berjudul Anak Semua Bangsa, Minke dikisahkan memiliki seorang Istri bernama Ang San Mei. Ia adalah perempuan Tionghoa yang belum fasih berbahasa setempat, tinggal di pemukiman kumuh Batavia. “Mei” begitu cara Minke biasa menyapa istrinya juga aktif memperjuangkan haknya sebagai perempuan dan warga Tionghoa di Batavia. Ia aktif dalam serikat warga Tionghoa kala itu. Meskipun berakhir tragis, perjuangan Mei membuktikan perempuan juga memiliki kekuatan untuk memperjuangakan hak nya bebas dari kekerasan.
Diperlukan langkah nyata untuk menyudahi kekerasan kepada perempuan baik kekerasan dalam lingkup personal maupun KDRT. Aksi nyata secara personal dapat kita lakukan dengan memastikan diri kita tidak melakukan kekerasan pada perempuan. Kita dalam konteks ini mencakup laki-laki ke perempuan ataupun perempuan ke perempuan. Dalam hal ini kita juga harus menempatkan posisi laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.
Hal lain yang bisa dilakukan secara kolektif adalah mendukung kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Dilansir dari situs resmi Komnas Perempuan (www.komnasperempuan.go.id), tahun ini tema kampanye adalah “Perlindungan Korban Melalui Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. Tema ini dikerucutkan dari tema besar kampanye tahun 2015-2019 yakni “Kekerasan Seksual adalah Kedzaliman terhadap martabat Kemanusiaan”.
Kampanye ini dilakukan dari tanggal 25 November hingga 10 Desember tiap tahunnya. Aksi 16 Hari Anti Kekerasan terhadap perempuan (16 Days of Activism Againts Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
16 hari sendiri merupakan jangka waktu yang dianggap pas untuk memperingati perjuangan aktivis HAM. Dimulai dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan diakhiri di Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional pada tanggal 10 Desember. Jangka waktu tersebut dimanfaatkan oleh para aktivis untuk membangun strategi pengorganisasian bersama.
Tak banyak yang tahu tentang kampanye ini. Perjuangan menegakkan HAM bagi perempuan bisa dilakukan dengan mendukung kampanye ini secara koletif. Jika kampanye ini bisa menyentuh banyak kalangan dan sukses memberikan edukasi tentang keseteraan hak dan gender maka menyudahi kekerasan pada perempuan bukanlah angan semata. Mari menyudahi kekerasan pada perempuan dan memastikan mereka merasakan kesetaraan gender.
(ded/ded)