Pentingnya Pendidikan untuk Anak Autisme

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Sabtu, 06 Jan 2018 09:23 WIB
Anak dengan gangguan autisme tetap harus mendapatkan pendidikan karena dengan pendidikan itu membuat mereka dapat berperilaku layaknya anak-anak normal lainnya.
Ilustrasi autisme (Foto: Thinkstock/Devonyu)
Jakarta, CNN Indonesia -- Autisme merupakan gangguan perkembangan saraf yang sangat kompleks pada anak. Gangguan tersebut sudah mulai timbul sebelum anak berusia tiga tahun ditandai dengan sulitnya anak berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.

Gangguan autisme sudah menjadi sesuatu hal yang banyak terjadi akhir-akhir ini di lingkungan masyarakat. Tetapi, masih banyak masyarakat yang belum terlalu paham dan tidak terlalu peduli dengan gangguan autisme yang ada di sekitarnya. Masyarakat menganggap dan memperlakukan mereka sama seperti anak normal lainnya.

Banyak masyarakat yang menganggap bahwa anak yang sudah terkena autisme tidak bisa disembuhkan. Memang, anak yang sudah mengidap gangguan autisme sampai saat ini belum bisa disembuhkan. Tetapi bukan berarti tidak ada cara untuk menangani gangguan tersebut.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendidik dan membuat anak autis berperilaku layaknya anak normal lainnya. Seperti memberikan terapi-terapi untuk mereka. Atau memasukkan mereka ke sekolah. Ada beberapa terapi yang bisa diikuti oleh anak autisme:
- Terapi Biomedik
- Terapi Okupasi
- Terapi Perilaku
- Terapi Fisik
- Terapi Wicara
- Terapi Visual
- Terapi Bermain
- Terapi Perkembangan
- Terapi Musik
- Applied Behavioral Analysis (ABA)

Seperti yang sebelumnya telah disebutkan, selain menjalani proses terapi anak autisme juga dapat ditangani dengan memasukkan mereka ke sekolah. Ruang lingkup sekolah yang dimaksud dalam hal ini adalah sekolah yang dapat memahami dan menyesuaikan dengan keadaan mereka. Salah satu sekolah yang memenuhi standar tersebut adalah Sekolah Dasar Negeri 18 Pagi Slipi yang terletak di daerah Jakarta Barat.

Di SDN 18 Pagi Slipi ini ada seorang guru wanita yang menjadi pembimbing sekaligus pengajar untuk kelas inklusi yang dibuka di sekolah ini. Guru tersebut bernama Ibu Lina. Beliau merupakan salah satu pekerja sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Berawal dari menjadi salah satu pekerja sosial, beliau sekarang ini menjadi salah satu guru di SDN 18 Pagi Slipi.

Bermula pada sekitar tahun 2013, Ibu Lina mendapat tanggung jawab untuk turun ke wilayah Slipi sebagai pengajar dan pembimbing untuk kelas inklusi. Karena pada tahun 2013, hanya SDN 18 Pagi Slipi yang membuka kelas inklusi di wilayah Slipi. Pada awalnya, Ibu Lina mengajar bersama dengan teman-teman lainnya dari universitas lain. Tetapi, seiring berjalannya waktu hanyalah Ibu Lina sampai saat ini yang bertahan sebagai pengajar untuk kelas inklusi di SDN 18 Pagi Slipi.

Ibu Lina merupakan guru yang wara-wiri di sekolah tersebut. Karena Ibu Lina, mengajar bukan hanya untuk satu kelas melainkan untuk kelas 1 sampai kelas 6 SD. Ibu Lina menceritakan bahwa dalam berkomunikasi dengan anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah, dalam setiap berkomunikasi menggunakan cara-cara atau metode yang berbeda-beda pada setiap anaknya.

Ada anak yang senang diajak mengobrol, ada yang senang berkomunikasi jika diajak bermain. Ibu Lina mengatakan, “Di sekolah kami ini, kami menerima anak-anak dengan berbagai macam keterbatasan yang mereka punya. Seperti tuna rungu, tuna wicara bahkan ada yang tuna grahita. Serta kami juga menerima anak-anak dengan gangguan autisme ringan.” Jadi tidak heran, jika dalam proses berkomunikasinya pun kepada tiap anak itu berbeda-beda.

SDN 18 Pagi Slipi hanya menerima anak dengan gangguan autisme ringan, karena untuk anak dengan gangguan autisme yang sudah tingkat atas seharusnya dimasukkan ke sekolah yang memang dikhususkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Karena pada dasarnya, SDN 18 Pagi Slipi ini merupakan sekolah dasar regular yang masih terdapat anak-anak normal lainnya.

Untuk anak dengan gangguan autisme ringan, Ibu Lina menceritakan bahwa anak-anak tersebut tetap dimasukkan dan dibaurkan ke dalam kelas dengan anak-anak normal lainnya. Tidak ada perbedaan dalam kurikulum pelajaran yang mereka dapatkan. Hanya saja, ada beberapa waktu Ibu Lina mengumpulkan anak-anak dengan gangguan autisme riangan di satu ruangan dan mengajarkan mereka kembali mengenai pelajaran yang sudah mereka dapatkan di dalam kelas.

Dalam pengajarannya pun tentu berbeda-beda, ada yang bisa diajarkan melalui gambar-gambar, ada yang diajarkan melalui buku fase huruf-huruf bahkan ada yang bisa diajarkan dengan bermain terlebih dahulu. “Anak dengan gangguan autisme ringan kan tangannya suka tidak bisa diam ya, jadi saya selalu memberikan mereka pekerjaan seperti belajar menulis atau menggambar. Karena takutnya jika tidak diberi pekerjaan, tangannya akan jahil kepada teman-temannya,“ ujar Ibu Lina.

Menurut Ibu Lina, anak yang memiliki ganguan autisme bisa berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Banyak murid beliau yang berprestasi, contohnya salah satu muridnya ada yang berprestasi di bidang olahrga maupun di bidang dakwah.

Anak-anak dengan gangguan autisme, tetap harus mendapatkan pendidikan karena dengan pendidikan itulah yang membuat mereka dapat berperilaku layaknya anak-anak normal lainnya. Dalam memberikan pendidikan kepada anak autisme, tidak hanya memasukkan mereka ke dalam sekolah tetapi harus juga diiringi dengan pendidikan dari orangtua serta keluarganya. Karena peran orangtua sangat penting di sini, orangtua harus lebih perhatian pada perkembangan anaknya.

“Maunya kita adanya kesadaran lingkungan, dan orang tua. Orang tua menganggap anak dengan berkebutuhan khusus itu seperti apa ya masih kurang menerima. Kebanyakan orangtua di sekolah ini seperti hanya menitipkan anak di sekolah ini tapi kurang memerhatikan lebih lanjut kemampuan anaknya. Padahal kita sudah bekerjasama untuk selalu berkomunikasi dengan orangtua murid mengenai perkembangan si anak,” ujar Ibu Lina.

Pada dasarnya orang tua menjadi kunci dalam setiap perkembangan sang anak. Dalam situasi seperti ini, orang tua harus lebih bisa menerima terlebih dahulu keadaan sang anak dan keadaan keluarga mereka. Karena jika orang tua sudah bisa menerima keadaannya, orang tua mampu untuk menindaklanjuti kehidupan mereka dengan sang anak.

Anak adalah titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, apapun yang didapat itu adalah rezeki dari Tuhan. Orang tua harus bisa menerima, mendidik, dan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Karena setiap anak mempunyai kelebihan masing-masing yang dapat membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER