Tim Sukses, antara Membantu Kemenangan dan Beban

M Andika Putra, Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Kamis, 17 Nov 2016 08:12 WIB
Kekuatan figur calon memang turut menentukan kemenangan. Namun, di balik kesuksesan setiap kandidat tak bisa dilepaskan dari kerja keras tim sukses.
Tiga pasangan cagub dan wagub DKI Jakarta memegang nomor urut untuk pilkada DKI Jakarta 2017, Selasa, 25 Oktober 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hubungan antara tim sukses (timses) dengan kandidat yang dicalonkan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah bagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Timses akan melakukan berbagai cara untuk memenangkan kandidat yang mereka dukung dari balik layar. 

Sedangkan kandidat, akan menjadi aktor yang dilihat oleh publik untuk menentukan pilihannya. Seperti yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta. 

Baik timses maupun pasangan calon bekerja keras untuk memenangkan pilkada. Tetapi, bukan berarti timses selalu menguntungkan pasangan calon. Strategi yang kurang matang dari timses berpeluang merugikan pasangan calon.

"Memang sering kali timses jadi beban. Misalnya, partai sering kali tidak bergerak kalau tidak ada dana operasional yang turun. Itu masih jadi pekerjaan rumah," kata pengamat politik Yunarto Wijaya saat dihubungi oleh CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Yunarto menjelaskan dana operasional yang dianggap sebagai biaya politik itu bukanlah biaya yang murah. Biaya politik itu seakan jadi prasyarat bagi timses untuk bergerak.

Tak Merata

Biaya politik bukan satu-satunya faktor yang bisa membuat timses menjadi beban. Kerja timses yang tidak merata di lapangan juga menjadi salah satu faktor.

"Sering terjadi penumpukan hanya pada satu daerah. Sementara daerah lain tidak ada timses yang bisa mewakili kandidat, ini sering jadi masalah," kata Yunarto. 

Menurut Yunarto hal itu terjadi karena timses sering terbentuk berdasarkan kader partai yang mengajukan diri. Hal itu membuat struktur timses tidak berjalan dengan baik. Bantuan dari relawan pun akhirnya tidak terlalu efektif.

Dalam pandangan Yunarto timses yang baik adalah yang bisa mengoptimalkan kepengurusan partai sampai ke anak ranting. Menjangkau simpatisan partai yang benar-benar ada di sekitar masyarakat pemilih.

"(timses) Yang paling ideal ada koordinator per TPS (Tempat Pemungutan Suara). Betul-betul timses ini menjangkau secara menyeluruh pemilih yang ada di daerah tersebut sehingga sosialisasi bisa merata," tutur Yunarto.

Bagi Yunarto hanya partai yang bisa melakukan hal itu. Oleh karena itu timses harus bisa memanfaatkan jaringan partai sampai bawah. Melihat kondisi saat ini, kata Yunarto, partai yang paling bisa melakukan hal itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Dalam Pilkada DKI Jakarta, dua partai itu berada dalam koalisi yang berbeda. PDIP mengusung Ahok-Djarot bersama Golkar, NasDem, dan Hanura. Sedangkan PKS mengusung Anies-Sandi bersama Gerindra.

Basuki Tjahaja Purnama dalam salah satu aktivitas kampanye. (CNN Indonesia/Safir Makki)Basuki Tjahaja Purnama dalam salah satu aktivitas kampanye. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Tetap Dibutuhkan

Walau begitu, Yunarto menyatakan timses tetap dibutuhkan oleh pasangan calon di Pilkada DKI Jakarta. Baik pasangan calon yang sudah dikenal warga atau pun yang belum dikenal warga tetap membutuhkan keberadaan timses.

"Karena keterbatasan waktu tidak mungkin (pasangan calon) bisa menjangkau semua pemilih. Di situlah fungsi sebenarnya timses," ucap Yunarto.

Yunarto menilai timses sebagai perpanjangan tangan dari pasangan calon. Timses harus menyampaikan pesan-pesan pasangan calon kepada masyarakat seperti pogram bila terpilih nanti. Oleh karena itu timses juga harus turun ke lapangan.

Di sisi lain, pekerjaan timses juga akan terbantu bila pasangan calon sudah memiliki popularitas yang tinggi di masyarakat. Begitu juga dengan pasangan calon yang sudah memiliki personal branding positif.

"Jika begitu, fungsi dari mereka (timses) akan menjadi corong suara. Tapi kalau kandiddat masih mengalami masalah popularitas atau mengalami permasalahan isu negatif, akhirnya (pekerjaan) timses menjadi berat," kata Yunarto.

Konsultan politik dari Cyruss Network Hasan Nasbi Batupahat menilai petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak perlu dipoles untuk membuatnya terpilih kembali dalam Pilkada 2017 DKI Jakarta. 

Menurutnya, Ahok atau Basuki justru akan kehilangan jati dirinya.

Dalam kampanye, Hasan mengatakan, Ahok tidak memiliki konsultan politik. Ahok lebih memilih dibantu daripada harus membayar konsultan politik.

Pemetaan Wilayah

Hasan yang turut membantu Ahok menuturkan, calon gubernur nomor urut dua itu hanya perlu dibekali soal pemetaan wilayah dalam melakukan kampanye. Sejauh ini, menurutnya, Ahok akan berusaha meyakinkan kelompok yang masih menolaknya.

"Kalau dipoles justru aneh, diketawain orang. Cuma Ahok nanti perlu dibekali dengan peta daerah mana yang masih mungkin dimasuki dan sejauh ini belum mendukung dia," ujarnya dalam perbincangan dengan CNNIndonesia.com baru-baru ini.

Peran dan fungsi timses memang tak bisa dipungkiri dalam memberi berbagai masukan dan strategi bagi kandidat, termasuk hasil-hasil survei. Besarnya peran dan fungsi timses ditekankan oleh Saiful Mujani Research & Consulting.

Sebagai lembaga swasta, SMRC kerap menggelar survei tentang keadaan saat ini. Pada 1-9 Oktober lalu mereka baru saja menyelesaikan survei mengenai Pilkada DKI Jakarta.

SMRC sendiri bukan lembaga kemarin sore yang melakukan survei. Nama SMRC sebagai lembaga survei sudah dipercayai banyak kalangan. Selain itu mereka juga merupakan lembaga konsultasi bagi yang ingin berkonsultasi.

"Kami hadir untuk membantu para pemimpin dan pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah," begitu kata SMRC seperti tertulis dalam situs resmi SMRC. (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER