Jakarta, CNN Indonesia -- Duet kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dalam ajang Pilkada DKI Jakarta cukup memberikan kejutan.
Agus dan Sylvi boleh dibilang "anak kemarin sore" di dunia politik. Sebelum menjadi kandidat pilkada, Agus menimba ilmu pendidikan militer selama belasan tahun, sedangkan Sylvi mengabdi pada Pemerintah Daerah DKI Jakarta selama 31 tahun.
Meski keduanya pendatang baru, namun keduanya tampak pintar memanfaatkan latar belakang yang dimiliki. Setidaknya, terlihat dari berbagai pidato politik yang digelar saban dua pekan.
Setiap pidato, Sylvi sering “menjual diri” bahwa ia paham seluk beluk Jakarta. Pun Agus kerap “mengumbar” didikan militer yang bisa ia terapkan untuk memimpin ibu kota.
Agus yang selalu memiliki porsi pidato yang lebih banyak daripada Sylvi, terlihat jelas selalu menceritakan pengalaman militer untuk “jual diri” kepada masyarakat Jakarta. Gaya ini sudah dia lakukan sejak pidato politik pertama di Djakarta Theater pada Oktober lalu.
"Bismillahirrahmanirrahiim, keputusan saya untuk mengakhiri ikatan dinas di TNI dan maju sebagai calon gubernur DKI, saya yakini sebagai sebuah panggilan tugas suci untuk membela hak-hak warga yang tertindas dan diperlakukan tidak adil seperti yang dialami warga Luar Batang," kata Agus pada Minggu (30/10).
Dalam pidato politik pertama Agus mengungkapkan 10 program unggulan bila ia terpilih. Saat itu ia menyebut bahwa pemimpin harus bertindak tegas, bertindak cepat, dan tidak melanggar aturan. Sifat pemimpin itu ia kaitkan lagi dengan pengalaman militernya.
"Terhitung sejak mengikuti akademi militer saya pribadi pernah bertugas di dunia militer selama 20 tahun, karena itu saya sangat mengerti apa artinya tegas. Jangan ragukan itu, tetapi sekali lagi, tegas bukan berarti kasar dan beringas," kata Agus pada Minggu (30/10).
Cerita latar belakang militer itu berlanjut pada pidato yang kedua di GOR Yos Sudarso, Jakarta Utara, dua pekan lalu. Saat itu Agus-Sylvi fokus membahas soal bantuan dana kepada masyarakat.
Agus menilai bantuan dana kepada masyarakat bukan merupakan program bagi-bagi uang dan memanjakan masyarakat. Tetapi program yang bisa memberdayakan masyarakat untuk bangkit. Ia tak ingin masyarakat Jakarta menderita karena mengaku pernah merasakan penderitaan.
"Sebagai anak tangsi dan mantan prajurit TNI yang biasa hidup dalam keterbatasan di asrama maupun daerah operasi, saya bisa merasakan getar-getar penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita," kata Agus pada Minggu (13/11).
Ketika itu pula Agus juga menyebutkan soal keamanan yang sangat diperlukan ibu kota. Ia mengklaim mengerti bagaimana masyarakat memerlukan keamanan lantaran pernah mengamankan Jakarta.
"Itu pula pengalaman yang saya dapatkan ketika berdinas di TNI selama 16 tahun. Termasuk mengemban operasi keamanan di Aceh, tugas perdamaian di Libanon, dan ketika satuan militer yang saya pimpin juga ikut bertanggung jawab dan bertugas untuk mengamankan Jakarta," lanjut Agus dalam pidatonya itu.
Agus seakan tak bisa lepas dari pendidikan militer yang sudah ia emban. Pada pidato politik Agus-Sylvi yang ketiga, ia kembali menjual latar belakang militernya kepada publik. Itu merupakan upaya untuk menarik simpati pemilih masyarakat Jakarta.
Pidato politik ketiga Agus-Sylvi diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Pasangan yang diusung oleh Partai Demokrat, PPP, dan PAN ini fokus membahas pembangunan ekonomi, investasi, dan perumahan rakyat. Lagi dan lagi cerita militer itu Agus gunakan saat membahas soal keamanan Jakarta.
"Saya punya bekal pendidikan, penugasan dan pengalaman lapangan militer, baik di dalam maupun luar negeri selama 16 tahun untuk melindungi masyarakat. Khususnya dalam satu tahun terakhir ini. Dalam kapasitas saya sebagai Komandan Batalyon pengaman Ibu Kota Jakarta, saya memahami betul seluk beluk tantangan keamanan di Jakarta," kata Agus pada Minggu (27/11).
Saat itu Agus juga sempat membahas sedikir kemajemukan di Jakarta. Pasalnya tensi Jakarta sempat memanas karena perbedaan agama.
"Saya biasa hidup berdampingan dalam kemajemukan dengan damai, tidak ada istilah menang-menangan baik mayoritas maupun minoritas. Itulah mengapa ada istilah TNI adalah benteng kebhinekaan dan benteng NKRI. Karena selain pemimpin mayoritas harus menghargai minoritas, pemimpin minoritas pun harus menghargai mayoritas," kata Agus.
Pidato politik Agus-Sylvi akan terus berlanjut selama masa kampanye. Kemungkinan besar pula Agus akan menjual diri dengan pengalaman militer yang ia miliki.
Psikolog Viera Adella mengatakan Agus memang mengidentikan dirinya dengan militer. Ia sudah melalui proses bertahun-tahun sampai akhirnya militer sangat melekat dengan dirinya.
"Dia melihat militer itu sebagai identitas yang menjanjikan. Bahkan ideal. Apa lagi dia lulusan terbaik, agak tidak mungkin kalau dia menjalankan pendidikan militer setengah-setengah," kata Adella saat dihubungi.
Menurut Adella apa yang dilakukan oleh Agus tak bisa lepas dari jalan militer yang juga dipilih oleh ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono. SBY berhasil pensiun sampai posisi puncak dan menjabat sebagai presiden republik Indonesia selama 10 tahun.
Dalam pandangan Adella karier militer merupakan investasi jangka panjang. Mulai dari modal fisik sampai mental yang Agus dapat dari pendidikan militer merupakan modal. Modal itulah yang saat ini baru Agus miliki.
"Saat ini modal militer itu yang dia punya, makanya itu yang dia ulang. Bahwa itu laku atau tidak, ini bergantung sama orang yang mendengarkan. Ada yang tertarik ada yang menganggap itu basi," kata Adella.
Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Agus tak luput dari manuver politik. Pengamat politik Karyono Wibowo berpendapat bahwa apa yang dilakukan Agus merupakan marketing politik. Bagaimana Agus menjual diri dengan mengisahkan pengalaman militer. Saat ini baru itu yang bisa Agus jual.
"Jualannya karier dia di militer. Dia ingin menonjolkan pengalaman militer," kata Karyono saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/11).
Karyono menilai pengalaman militer yang disebutkan oleh Agus saat pidato bukan merupakan cara kampanye yang kurang tepat. Walau banyak orang di pemerintahan yang memiliki latar belakang militer, saat ini format pemerintahan Indonesia sudah tidak seperti itu.
Menurut Karyono saat ini tren demokrasi untuk kepala daerah adalah warga sipil. Bukan pemimpin latar belakang militer seperti Orde Baru.
"Masyarakat daerah lebih banyak memilih sipil, berbanding terbalik dengan Orde Baru yang militer. Menurut saya apa yang dijual enggak bisa dilihat secara hitam putih, ukuran pemimpin bukan militer. Belum tentu laku," kata Karyono.
Selain belum tentu terjual apa yang dilakukan Agus bisa menjadi bumerang. Karyono menjelaskan apa yang ia katakan bisa menyerang dirinya sendiri.
"Publik akan membandingkan dengan mantan militer lain yang lebih berpengalaman. Walau mantan militer lain tidak ikut pilkada, publik akan melihat ke sana, masyarakat akan jenuh," tutur Karyono.
(obs/yul)