Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2017 seharusnya menjadi ajang memberikan pendidikan politik pada warga. Tapi hal itu tak berjalan maksimal karena ajang pesta demokrasi ini justru lebih mengedepankan hiruk pikuk yang tak jarang berbau SARA.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie mengatakan hal itu di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (22/12).
Menurut Jimly, hiruk pikuk yang menyertai penyelenggaraan Pilkada 2017 justru keluar dari konteks pesta demokrasi itu sendiri. Alih-alih menghadirkan pendidikan politik, perhatian pada Pilkada 2017 justru menimbulkan isu lain di luar hal pemilihan.
"Seperti sekarang, semua orang ribut di seluruh Indonesia, tapi bukan pilkadanya. Ributnya itu soal (kasus) penghinaan terhadap agama. Padahal kita mau Pilkadanya itu yang semarak, meskipun kalau terlalu semarak juga tidak baik," kata Jimly.
Perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama menjadi fokus perhatian di Pilkada 2017.
Jimly berkata, perhatian media massa di Pilkada 2017 cenderung hanya kepada penyelenggaraan di ibu kota. Akibatnya, penyelenggaraan Pilkada di daerah lain menjadi kurang diperhatikan.
Sementara itu, Tim Monitoring Pilkada Kementerian Dalam Negeri menyoroti minimnya sosialisasi Pilkada 2017. Akibatnya, masa kampanye di daerah-daerah penyelenggara pilkada menjadi sepi.
"Mungkin sekitar 80% (daerah Pilkada) sepi, biasa saja hampir tidak ada sesuatu," kata anggota Tim Monitoring dari Kemendagri Hariadi.
Sosialiasi LemahSepinya pilkada di banyak daerah penyelenggara ditengarai karena minimnya sosialisasi. Banyak warga belum mengetahui gelaran pesta demokrasi tersebut awal tahun depan.
Hariadi menyoroti metode sosialisasi KPU yang ia nilai tak berkembang dari tahun-tahun sebelumnya. Padahal, seharusnya metode sosialisasi dikembangkan untuk menarik perhatian warga terhadap Pilkada 2017.
Hariadi mencontohkan, pada pilkada 2015 ada KPU daerah yang menyelenggarakan sosialisasi dengan menggunakan mobil keliling. Mobil tersebut bergerak ke beberapa daerah di Kalimantan Tengah untuk memberi informasi tanggal pelaksanaan Pilkada.
"Itu bisa menjadi contoh. Harus ada variasi sosialisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan
treatmen di masing-masing daerah, dan itu belum dilakukan KPU," katanya.
Sepinya antusias warga terhadap Pilkada 2017 juga berdampak pada meningkatnya apatisme masyarakat. Apatisme muncul terhadap calon-calon kepala daerah yang berpartisipasi.
Meski apatis, Hariadi mengklaim warga di sejumlah daerah penyelenggara Pilkada tetap akan menggunakan hak pilihnya pada 15 Februari 2017.
"Artinya, ada potensi apatisme. Tapi, apakah mereka tetap gunakan hak pilih, itu derajatnya beda-beda," tuturnya.
(wis/rdk)