Mengantar Raja
Menuju Sunia Loka

Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya ketika hujan terus menyapa, kota Denpasar pada Jumat itu ditemani hangat matahari pagi. Cahayanya menerobos masuk ke dalam Puri Pemecutan, menerangi Bade (tempat jenazah) dan replika Lembu Putih yang diletakkan di tengah jalan persis di depan puri.

Cuaca cerah itu tak lepas dari ‘peran’ Jero Pasek, seorang pawang hujan yang pamornya mencapai ke berbagai pelosok Bali. Hari itu ia mengenakan pakaian hitam, mengisap rokok, dan melambaikan tangan ke arah langit. Sesekali ia mencoret-coretkan abu rokok ke telapak tangannya, juga merapal mantra.

Tugas maha penting ada di pundaknya: menggeser awan-awan kelabu dari sekitar tempat prosesi Pelebon, atau upacara melepas raja Bali.

Hari itu, 21 Januari 2022 adalah upacara Pengabenan Raja Ida Cokorda Pemecutan XI yang bernama lengkap Anak Agung Ngurah Manik Parasara. Raja yang semasa hidupnya dikenal sebagai sosok yang memiliki toleransi dan juga pemersatu umat ini mangkat pada akhir Desember 2021 di usia 76 tahun karena sakit. Sebagai anggota kasta kesatria, Raja Pemecutan XI akan dimakamkan dengan prosesi Pengabenan atau Pelebon.

Rangkaian prosesi ini sesungguhnya sudah dimulai pada awal bulan. Tepatnya lewat Nyiramin Layon atau memandikan jenazah pada 2 Januari, kemudian Ngardi toya sıram melaspas etek-eteh pasucian, panca datu, patrang, dan bendusa kembul pada 17 Januari, lalu dilanjutkan ngreresik, ngentos lilit, munggah patrang dan panca datu pada 18 Januari.

Pada puncak prosesi pelebon atau dikenal dengan istilah Pratiwa Nyawa Ngasti Wedana, jenazah Raja kemudian dibawa menggunakan bade tumpang sebelas dari rumah duka menuju tempat peristirahatan terakhir dengan diiringi oleh sebelas Sulinggih (orang suci di Bali).

Dalam ritual pelebon/ngaben di Bali, ada tiga tempat penyimpanan yang bisa digunakan untuk membawa jenazah hingga ke pembakaran: wadah, bade, dan lembu. Wadah biasa diperuntukkan untuk mereka yang tidak berkasta, sementara Bade dan Lembu bagi mereka yang memiliki kasta lebih tinggi.

Secara filosofis, Wadah dan Bade merupakan simbol bagian bawah dari Gunung Maliawan.

Secara fisik, perbedaan Wadah dan Bade terlihat dari atap atau tumpang. Bade umumnya memiliki tumpang yang jumlahnya menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan pengabenan. Sementara Wadah tak memiliki tumpang dan berbentuk seperti tempat jenazah biasa.

Jumlah tumpang pada Bade memiliki aturan khusus; ada yang lima, pitu (tujuh), sembilan, solas (sebelas) dan seterusnya. Masing-masing jumlah akan digunakan kasta tertentu. Contohnya keturunan Dalem yang diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara (sarana upacara) lainnya.

Sebagaimana semua tradisi dan kepercayaan di Bali adalah simbol kehidupan, ornamen-ornamen yang ada pada Bade juga memiliki makna tetentu.

Salah satunya adalah simbol naga, yang bisa diartikan sebagai ‘Kamerta pangurip jagat’. Simbol ini menggambarkan sifat niat rakus atau momo yang acapkali mengikat manusia. Pemasangan simbol naga pada Bade adalah cara untuk melebur sifat tamasika orang yang meninggal sehingga tidak terbawa ke alam sunia.

Ornamen lainnya adalah Boma atau kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka – simbol perwatakan rasa tidak pernah puas manusia.

Cuaca semakin terik ketika ribuan warga mulai memadati ruas jalan MH Thamrin dan Hasanudin yang ditutup total untuk kendaraan selama prosesi berlangsung.

Pukul 12 siang, layon (jenazah) raja dipindahkan dari dalam Puri Pemecutan ke dalam Bade Tumpang Solas setinggi 18 meter, dengan diiringi oleh keluarga, kerabat, serta umat dari berbagai banjar.

Suara pemandu dari pengeras suara terdengar lantang mengingatkan warga yang berdesakan untuk memberi jalan pada Bade Tumpang Solas yang bergerak menuju Setra Agung Badung, tempat pemakaman sementara sebelum pembakaran jenazah. Jaraknya tak lebih dari satu kilometer. Bade itu diiringi Lembu, Ogoh-ogoh dan rangkaian lain dari warga.

Suara gamelan bali dari komunitas umat Hindu terus mengalun mengiringi prosesi menuju setra.

Suasana semakin “panas” kala para pemuda yang mengusung ogoh-ogoh raksasa berlari dan berputar. Ogoh-ogoh setinggi empat meter ini merupakan hasil karya dua seniman Nyoman Gede Sentana Putra dan Ida Bagus Nyoman Surya Wigenam yang dikerjakan kurang dari dua minggu. Ogoh-ogoh memiliki tema Cupak, atau perwujudan Bhuta Kala. Ia menyimbolkan penghalang keburukan dan gangguan saat prosesi pelebon berlangsung.

Sementara arak-arakan patung Lembu putih ditunggangi cucu ngarep (keturunan langsung) Raja Ida Cokorda Pemecutan XI. Lembu ini dipanggul oleh pemuda-pemuda dari berbagai banjar. Ia bergerak diiringi Sulinggih dan bergerak diiringi Sulinggih.

Patung lembu yang digunakan untuk ngaben/pelebon ini disebut Petulangan. Fungsinya sebagai wadah membakar jenazah. Sementara secara spiritual fungsinya adalah menjadi pengantar roh ke alam arwah (surga atau neraka).

Setiba di Setra Agung Badung, Patung Lembu diletakkan di area lapangan tempat pembakaran.

Beberapa saudara, kerabat, dan pemuka agama yang berkumpul di sana telah melaksanakan upacara Tedun Layon.

Layon kemudian diturunkan dari Bade Tumpak Solas, kemudian dipindahkan menuju perut lembu yang sudah menunggu. Prosesi memindahkan jenazah ini menyita perhatian warga yang hadir di lapangan Setra, yang ingin terlibat mengabadikan melalui kamera ataupun ponsel.

Sebelum pembakaran layon, sejumlah laki-laki menari di tengah lapangan persis di hadapan lembu. Tari Baris Katekok Jago dipentaskan saat upacara Pitra Yadnya seperti ngaben atau pelebon, mengawal sang arwah saat perjalanan dari rumah duka sampai upacara ngaben/pelebon.

Selama di lokasi pelebon, tari ini mengawal jenazah atau layon saat diturunkan dari Bade menuju ke tempat pembakaran atau lembu. Kemudian para penari akan menari menghadap jenazah atau lembu sebelum dibakar. Ini adalah perlambang mengantarkan roh kembali ke asalnya.

Kobaran api merengsek ke badan lembu, diawali bagian bawah lalu merambat ke sekujur tubuh hingga kepala. Demikian cepat api melalap lembu yang berisi jenazah raja. Asap dan abu mengepul terbawa angin.

Tak lebih dari satu jam lembu berisi jenazah raja dibakar. Tulang belulang yang tersisa kemudian dikumpulkan dan dirangkai sesuai posisi tulang belulang itu sendiri pada saat tubuh masih utuh.

Rangkaian dilakukan sedapatnya tulang yang terkumpul. Tak harus lengkap. Rangkaian tulang belulang itu diupacarai kemudian digilas dan dimasukkan ke dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya. Sisa tulang lainnya yang bercampur arang kayu dan sulit dikumpulkan dibungkus kain kafan.

Hari semakin sore, deburan ombak diempas angin yang semakin kencang. Matahari pun perlahan turun ke ufuk barat di Pantai Segara Kuta. Sejumlah kerabat telah menyiapkan perlengkapan sembahyang untuk upacara pelepasan Nganyud.

Nganyud adalah ritual untuk menghanyutkan segala kotor yang masih tertinggal dalam roh mendiang, dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksanakan di laut, atau sungai.

Di tengah kegelapan Pantai Kuta, satu persatu sesajian dilarung ke laut secara bergantian oleh anggota keluarga dan kerabat dekat. Deburan ombak dengan cepat menyambar, menyeret ke tengah lalu menghempaskan kembali ke bibir pantai.

Abu jenazah yang terbungkus kain putih pun telah dilarung oleh putra raja. Menyatu dalam ombak-ombak air laut menuju Sunia Loka.