Jakarta
Setengah Tiang

Oleh:

Mohammad Safir Makki
Please rotate your device for better experience

Hidup di Jakarta, kota yang hampir 17 tahun menjadi tempatku mengais rezeki, bak tinggal di suatu minimarket 24 jam yang menyajikan "kehidupan" dan "kematian" tanpa kenal waktu.

Kaum urban mengejar harapan dan mimpi. Derap langkah penduduknya bercampur dengan deru mesin, klakson kendaraan, dan kicauan burung dan kokok ayam.

Semua berkompetisi.

Di tengah kehidupan dan kematian di ibu kota, tingkat stres dan depresi menjadi jeda. Bahkan Jakarta masuk ke dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia pada 2021, berdasarkan laporan The Least and Most Stressful Cities Index 2021. Tepatnya di nomor sembilan. Hanya sedikit lebih baik dari Karachi, Moskow, Kabul, Baghdad, New Delhi, Manila, Lagos atau Mumbai.

Bagi sebagian orang, memilih menua di Jakarta berarti hidup dengan segala tumpukan masalah kehidupan lain. Penuh getir dan bulir keringat. Berangkat pagi dan pulang malam menjadi ritual kehidupan kaum urban, baik mereka yang tinggal di pusat kemewahan hingga yang tersisih dan hidup di pinggiran.

Akhir-akhir ini terompet kematian sering terdengar di kota ini. Bahkan setiap jam. Raungan ambulans yang hilir mudik kini menjadi bagian keseharian ibu kota di sela-sela kibaran bendera kuning yang semakin sering menyapa.

Kematian datang kapan saja. Dalam keramaian atau kesunyian. Terbujur kaku hingga tergantung dalam keputusasaan.

Bunga yang mengering di atas tanah pun akhirnya menunggu layu dan ikut gugur.