Warna-warni
Dunia Albino
Oleh:
Adhi Wicaksono
Tiga tahun silam seorang rekan sejawat berdiskusi tentang teman-teman Albino yang beradaptasi di lingkungan mereka masing-masing, tapi kondisi kesehatan memaksa mimpi imajinya diredam secara perlahan.
Lewat Kolong Kota edisi kali ini, kesempatan datang untuk merangkai coretan-coretan lama miliknya yang kini sudah tertumpuk baju, mainan dan perabot lain. Sebuah coretan tentang kisah perjuangan pemilik kelainan genetika yang disebabkan kurangnya produksi melanin dalam tubuh, yaitu pigmen yang memberi warna kulit, rambut, dan mata (iris).
Pada kisah pertama ada Arvaldo Damara, sulung dari dua bersaudara yang telah menyelesaikan pendidikannya di bidang seni musik. Ia pernah mencari informasi bahwa dari empat generasi keluarga di atasnya, tak ada satupun juga yang Albino seperti dirinya.
Aldo kini jauh lebih terbuka dan percaya diri ketimbang beberapa tahun yang lalu.
Perbedaan yang mencolok memang acapkali menyebabkan teman-teman Albino sering menjadi korban perundungan di masa kecil. Ketika beranjak dewasa, masalah penglihatan yang terjadi karena kekurangan melanin yang berperan dalam perkembangan saraf mata, juga membuat mereka kerap kali kesulitan mengejar karier.
Tetapi ia menyadari kelemahan pada mata justru membuat daya ingat dan pendengarannya lebih kuat. Kondisi ini yang membuat ia mudah mempelajari banyak alat musik sehingga sukses menuntaskan pendidikan di bidang seni.
Pengetahuan kedua orang tuanya yang minim atas kondisi Albinisme, membuat Aldo sempat terkena kanker kulit. Hal ini terjadi setelah di usia tiga tahun Aldo acap kali diajak berenang berjam-jam. Sekujur kulitnya terbakar dan timbul benjolan yang tidak pernah hilang sampai usia tiga belas tahun.
Ketika diperiksa ke dokter spesialis, terbukti sejumlah benjolan menjadi tanda ia positif kanker kulit.
Cerita yang kedua adalah tentang Jullya Noer Aulia, seorang siswi SMK kelahiran 2005. Ia terlahir berbeda dari dua saudaranya, dan dengan tubuh yang jauh lebih putih ia sering dikira keturunan orang asing oleh tetangga dan teman sekolah.
Sang ibu bercerita, saat berpergian ia bahkan pernah mendengar orang-orang bergunjing bahwa dirinya hanya perawat yang menjaga anak seorang ekspatriat.
Di SMK, Jullya juga mengalami beberapa peristiwa yang lucu hingga tidak mengenakan akibat ketidaktahuan guru hingga teman atas kondisi Albinisme. Mulai dari respons yang ia terima saat sekadar kesulitan membaca tulisan di papan tulis, hingga tidak kuat apabila mengikuti upacara saat matahari terlalu panas bersinar.
Pernah suatu kali guru menegur Jullya karena menganggap pipinya yang putih kemerahan adalah efek polesan perona kosmetik. Ia juga ditegur karena menggunakan celak mata -- salah satu metode yang Jullya lakukan agar tidak silau ketika melihat di tempat terbuka.
Bulu matanya yang minim melanin memang membuatnya sering silau ketika berada di luar ruangan, sehingga diakali dengan penggunaan celak mata.
Kini Jullya bercita-cita untuk bekerja di bidang entertainment dan penyiaran. “Aku cocok di belakang layar saja, enggak mau jadi selebgram atau foto-foto,” katanya.
Coretan yang terakhir adalah Erik Fitriadi, salah satu Komisioner KPU Kabupaten Bogor, seorang demonstran di kala masih berstatus mahasiswa di Universitas Bung Karno.
Hidup dari keluarga sederhana di Bekasi, Erik di masa kecil adalah anak yang sering bermain di lapangan dan persawahan. Meski memiliki sensitivitas tinggi pada kulitnya, ia tetap bermain seperti anak-anak seusianya.
Kesenangannya bermain ini menyebabkan kulit tangan kaki dan kepalanya sering terbakar dan hingga kini menimbulkan bekas berwarna merah yang tidak dapat hilang.
Meski demikian, Erik tidak pernah merasa kesulitan ketika dekat dengan teman perempuan. “Saya ini justru merasa beruntung, saya menikah justru istri saya yang duluan ngejar. Kalo kata perempuan albino itu lucu malah,” ujarnya sambil tertawa.
Empat orang putranya terlahir normal tanpa kelainan genetika, membuktikan tidak selamanya orang tua albino pasti menghasilkan keturunan albino.