Waktu itu di Swiss Open 2012, saya satu kamar dengan Aryono. Aryono saat itu masih jadi pelatih ganda putri, dan saya satu kamar sama Aryono di turnamen itu.
"Her, Hendra mau balik lagi ke Pelatnas. Lu masih mau terima nggak?"
Begitu kata Aryono saat itu.
Ya boleh saja saya bilang. Saat itu Hendra berstatus pemain di luar pelatnas. Kalau memang mau masuk, silakan diurus urusan yang di luar. Nanti saya bantu ngomong sama PBSI.
Terus pas sesi latihan di warming up court, Hendra menghampiri saya. Duduk tuh dia. Dia bilang: "Koh, saya mau ngomong."
Saya bilang: "Mau ngomong apa?"
Padahal saya sudah tahu karena Aryono sudah cerita kan.
Yang Hendra tanya pertama saat itu adalah: "Koh, saya masih bisa prestasi gak?"
Itu pertanyaan dia yang pertama. Jadi bukan Hendra langsung bilang mau balik lagi.
Atas pertanyaan itu lalu saya bilang bahwa Hendra masih bisa berprestasi karena dia masih muda kan saat itu. Lalu saya tanya kenapa memangnya, barulah kemudian Hendra cerita soal keinginan dia untuk kembali masuk Pelatnas Cipayung.
Pelatih ganda putra, Herry IP tengah memantau latihan ganda putra.
CNN Indonesia / Putra Permata Tegar Idaman
Saya lalu bilang bahwa Hendra urus segala urusan di luar untuk bisa masuk PBSI. Saya urus dan bantu ke PBSI.
Saya masih mau menerima Hendra karena memang dia masih punya potensi. Waktu itu juga sektor ganda putra gak ada pemain yang menonjol. Kosong pemainnya.
Pertama kali saya ngomong ke Koh Christian Hadinata, lalu Koh Chris yang bilang ke pengurus, yaitu Pak Yacob Rusdianto yang saat itu jadi Sekjen PBSI. Intinya PBSI bersedia menerima.
Kalau Ahsan, saat bersama Bona memang bisa sampai delapan besar Olimpiade London 2012. Setelah selesai Olimpiade, saya putar pasangan tuh. Ahsan sama Hendra dan Bona sama Fran.
Setelah Ahsan dan Hendra pasangan, saya pun tidak bisa tahu pasti. Ya memang dicoba dulu. Tetapi saya yakin dengan cara mereka main, pola mereka ini klop banget. Hendra di depan dan Ahsan kan memang lebih banyak main di belakang.
Itu dari sudut pandang saya karena saya tahu standar mereka. Tapi kalau target langsung juara di mana-mana, jujur saja belum.
Ketika Hendra balik ke Pelatnas, tidak ada cerita fisik dia drop. Dia kembali masuk ke pelatnas itu kondisinya sudah siap main. Skill Hendra itu di atas rata-rata, tekniknya di atas rata-rata, dan cara mainnya efisien.
Herry IP, Mohammad Ahsan, dan Marcus Fernaldi Gideon saat menjalani persiapan Piala Sudirman 2021 di Finlandia.
Dok. PBSI
Hendra tidak terlalu tergantung sama fisik. Bila diibaratkan persentase, dalam permainan itu teknik Hendra itu mendominasi 60-70 persen, sedangkan kebutuhan fisiknya paling 30 persen. Begitulah kira-kira.
Sebagai pasangan baru, Ahsan dan Hendra itu langsung fokus latihan. Konsentrasi. Karena mereka pasangan baru jadi kan harus mengejar yang lain.
Saat itu kan masih ada Lee Yong Dae/Ko Sung Hyun terus juga masih ada Cai Yun/Fu Haifeng. Tetapi setelah Ahsan/Hendra bisa juara di Malaysia, lalu Singapura, dan Indonesia, saya melihat kansnya cukup bagus di Kejuaraan Dunia 2013.
Waktu Kejuaraan Dunia 2013 berlangsung, bagi saya saat itu, bukan karena saya over confident, tetapi saya merasakan ada kepercayaan diri lebih saat itu. Karena persiapan Ahsan/Hendra cukup baik dan cukup bagus.
Dari awal hingga babak final tidak ada rubber game, semua straight game. Saat di semifinal bertemu Cai Yun/Fu Haifeng, mereka bertemu saya di warming up court.
Mereka bilang kira-kira gini kalau ditranslate: "Gua ketemu anak buah lu, udah kalah cepet nih gua". Gitu kira-kira.
Sedangkan saat final berjumpa Mathias Boe/Carsten Mogensen, dari segi permainan mereka memang gak cocok dengan pola main Ahsan/Hendra.
Ahsan saat itu masih muda dan lagi hebat-hebatnya. Sedangkan Hendra walau sudah berumur, tetapi bisa membimbing Ahsan. Jadi memang saat itu mereka benar-benar tidak ada lawan. Di depan ditutup sama Hendra, di belakang dihajar terus sama Ahsan.
Setelah bersinar dan mengilap di 2013, tantangan untuk Ahsan/Hendra tentu berubah. Kalau untuk merebut kan jauh lebih mudah dibanding mempertahankan. Jadi saya lihat masuk ke 2014 itu, sudah mulai ada rasa tegang-tegangnya.
Karena kan di 2014 sudah mulai terus jadi unggulan. Saingan utamanya kan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong.
Di 2014, Ahsan/Hendra menang All England. Sebenarnya saya rasa mereka sudah bisa juara di 2013. Tetapi saat itu mereka kepeleset.
Saat All England 2014, keinginan juara Ahsan/Hendra itu sudah terlihat sangat besar. Jarang banget lihat Hendra teriak, dan kalau Hendra teriak berarti dia pengen banget tuh jadi pemenang di pertandingan itu.
Setelah itu Ahsan sempat cedera pinggang. Cedera Ahsan itu kan memang kambuhan. Kadang hilang, kadang datang. Jadi gak pasti.
Kalau persiapan menghadapi kejuaraan, jangan terlalu dipaksakan. Kalau Ahsan sudah terasa, jangan dipaksa lebih baik istirahat dulu, terapi, baru nanti latihan lagi.
Saat Asian Games 2014, Ahsan/Hendra saat itu kalau tidak salah head to head nya kalah 1-4 atau 1-5 gitu lawan Lee/Yoo. Sebelum final itu saya ada omongan bahwa saya ingin dikasih medali emas Asian Games karena ini adalah kejuaraan yang belum pernah bisa saya antarkan pemain saya jadi juara.
Selain itu dari info-info yang ada, posisi saya waktu itu juga mau diganti. Benar atau salah informasi tersebut saya tidak tahu, tetapi yang saya dengar begitu. Hal itu saya utarakan ke mereka sebelum pertandingan.
Setelah dapat medali emas, Ahsan/Hendra bilang mendedikasikan kemenangan itu buat pelatih. Karena memang posisi saya waktu itu dibilang gak bagus. Rumor itu benar atau tidak, akhirnya tidak pernah terkonfirmasi. Ya mungkin kalau gak juara, bisa saja saya diganti.
Saat masuk ke 2015, Ahsan/Hendra tetap stabil dan bisa jadi juara dunia 2015 di Jakarta. Saat itu mereka jadi harapan satu-satunya di babak final. Satu-satunya andalan. Harapan PBSI, harapan masyarakat. Yang saya lihat saat itu motivasi mereka begitu luar biasa untuk jadi pemenang.
Saat Ahsan/Hendra gagal di Olimpiade 2016, saat itu mereka motivasinya masih bagus. Cuma memang kondisi fisiknya yang menurun.
Itu hal pertama. Kedua, memang ada rasa tegang waktu itu. Karena waktu itu Ahsan/Hendra jadi yang diharapkan, jadi andalan. Jadi mungkin Ahsan/Hendra merasa nervous.
Karena pressure yang tinggi, permainan mereka tidak keluar semua. Servis Hendra sering nyangkut. Memang ada pula pengaruh dari segi usia yang makin berumur karena lawannya juga lebih muda. Tetapi saya lihat faktor besar itu soal pressure.
Setelah Olimpiade 2016, Hendra bilang mau keluar Pelatnas Cipayung. Ahsan konsultasi sama saya. Saya bilang jangan keluar saat itu. Kalau Ahsan keluar, bisa selesai. Lu mau sparring sama siapa? Begitu kata saya waktu itu.
Ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon berhasil merebut gelar juara di ajang China Open 2019 usai mengalahkan senior mereka, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan dengan skor 21-18, 17-21, 21-15.
Dok. PBSI
Akhirnya Hendra partner sama Tan Boon Heong di luar. Ahsan saya pasangkan dengan Rian Agung. Lumayan juga bisa sampai final Kejuaraan Dunia.
Saya memang berpikir bahwa saat itu Hendra sedang persiapan untuk pensiun jadi saya pasangkan Ahsan dengan pemain muda. Ya tetapi mungkin seiring waktu berjalan, Hendra mungkin merasa tidak cocok dengan Tan Boon Heong, mungkin karena jarang latihan bersama.
Ahsan juga merasa kurang cocok sama Rian meski secara prestasi juga tidak jelek-jelek amat. Nah tahu-tahu mereka balik lagi bersama. Balik lagi Ahsan sama Hendra.
Saat itu Ahsan bilang mau partner lagi sama Hendra. Cuma Hendra mengajak di luar Pelatnas. Saya bilang, kalau di luar, sparring bakal susah. Mending di dalam.
"Emang boleh?" begitu kata mereka. Akhirnya saya ngomong sama Susy Susanti.
Waktu itu Minions lagi naik-naiknya. Minions itu harus ada senior yang menjaga. Karena dua-duanya, Marcus dan Kevin kan masih anak-anak muda.
Jadi saya bilang sama Susy, biarkan saja ini dua senior, Ahsan/Hendra berstatus di luar pelatnas dan profesional. Tetapi kasih kesempatan latihannya tetap di dalam.
Nanti kita banyak dapat untungnya. Para pemain bisa sparring sama senior seperti Ahsan dan Hendra, bola mereka kan masih bagus. Sekalian juga mereka bisa kontrol karakter pemain-pemain yang muda. Karena pemain muda pasti segan kan sama seniornya.
Ternyata usul itu diterima sama pengurus. Jadi mereka latihan di dalam dengan status profesional. Maksud saya, ya sudah mereka biar menikmati sisa beberapa tahun dalam karier mereka. Gak usah lagi dipaksa kayak pemain-pemain muda lainnya.
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto juara Malaysia Masters 2022, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan runner-up.
Dok. PBSI
Nah di 2019, ternyata Ahsan/Hendra bisa juara All England, Kejuaraan Dunia, dan BWF World Tour Finals.
Di All England, saya bilang itu pertolongan Tuhan. Soalnya kan Hendra saat itu jalan saja susah. Kalau tidur kakinya nyut-nyutan.
Betis kanan Hendra ketarik waktu itu, jalan pincang. Nah di final saya bilang kalau bisa main, ya main. Kalau gak bisa, ya sudah WO saja daripada sakit. Terus Hendra ke fisioterapis dan dia bilang mau coba.
Di final ketemu Aaron Chia/Soh Wooi Yik dan kalah di gim pertama. Saya bilang coba ubah pola. Jadi benar-benar seperti main mixed doubles. Hendra di depan dan Ahsan di belakang cover. Tidak perlu ada rotasi.
Nah pas main, ganda Malaysia malah kelihatan kagok. Kayak gak bisa main. Di situ saya lihat mental juaranya Ahsan/Hendra kelihatan. Enggak gampang main dengan kondisi seperti itu, tentu juga karena pertolongan Tuhan.
Yang pertama, pertolongan Tuhan karena Hendra jalan saja sudah pincang, bagaimana dia bisa main?
Dan yang kedua, tentu mental juara. Walau kondisi sakit kayak apapun, mereka gak gampang menyerah, gak mau kalah. Masih mau berusaha dalam kondisi sulit tetap bertahan dan menyerang.
Hal itu yang kemudian terulang di semifinal Kejuaraan Dunia 2019. Saat itu kalau dari segi kecepatan dan tenaga, Ahsan/Hendra sudah kalah dari Fajar/Rian. Tetapi kematangan mental juara itu yang membuat mereka sulit dilewati. Mental juara mereka terlihat di saat-saat kritis.
Waktu itu, istilahnya, Fajar/Rian masih bisa diakalin sama Ahsan/Hendra.
Saya kaget banget Ahsan/Hendra bisa juara dunia. Karena saat itu seharusnya sudah mulai masa-masa mereka agak turun karena umur. Selain itu mereka kan juga tidak terlalu dijagokan.
Setelah itu persaingan menuju Olimpiade ketat cuma kemudian ketutup sama Covid. Bubar semuanya. Nah saat itu peak performance Minions harusnya di 2020. Karena satu tahun gak ada turnamen jadi menurun.
Ahsan/Hendra juga menurut saya rezekinya kurang bagus. Kenapa? Karena seminggu mau berangkat Hendra positif Covid. Jadi saat seminggu training camp di Jepang juga latihan ala kadarnya karena tidak bisa meningkatkan kondisi fisik setelah Covid.
Nah itu yang mungkin kemudian berpengaruh pada saat semifinal dan perebutan perunggu. Saat itu Ahsan/Hendra tenaganya sudah habis. Karena kan persiapan mereka terkendala, apalagi lawannya juga bagus-bagus.
Masuk semifinal dengan kondisi seperti itu sudah luar biasa menurut saya. Hendra itu gak gampang menyerah dan dia paksa terus.
Durasi main Ahsan/Hendra di periode kedua berpasangan bahkan lebih lama dibanding periode pertama. Menurut saya itulah perjuangan seorang ayah. Tanggung jawab seorang ayah.
Mereka kan sudah punya keluarga, jadi tanggung jawab buat keluarga itu besar dalam diri mereka. Mereka juga menikmati main dengan status profesional.
Selain itu mereka juga tanggung jawab sama sponsor. Rasa tanggung jawab itu buat mereka jadi lebih hebat lagi, dan ini harus ditiru pemain-pemain muda.
Soal Ahsan dan Hendra, ada perbedaan di antara keduanya. Kalau dalam hal marah, Ahsan itu ngomong. Misal dia gak cocok sama program saya, dia ngomong.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan saat tampil di China Masters.
Dok. PBSI
Kalau Hendra enggak. Hendra diam. Hendra juga bisa marah cuma dia tidak kasih lihat ke orang lain. Kalau saya sih sudah tahu kalau Hendra marah. Pokoknya, asem kelihatan mukanya hahaha.
Terus soal bimbingan ke junior, Ahsan dan Hendra itu juga ada perbedaan. Kalau Ahsan masih ngomong dan kasih tahu ke juniornya. Misal dia bilang: "Elu jangan begini, elu jangan begitu."
Nah kalau Hendra enggak pakai ngomong. Dia pakai perbuatan. Misal kalau soal latihan jangan telat, nah Hendra cukup datang lebih duluan, lebih pagi. Jadi yang muda-muda otomatis sungkan. Begitu juga latihan drill. Hendra masih suka tambah-tambah.
Banyak yang bisa ditiru dari Ahsan/Hendra, semuanya bahkan. Kedisiplinan dan juga sifat tidak sombong. Saat belum dan setelah juara, kehidupan mereka itu tidak berubah. Memang tetap ada perubahan tetapi tidak signifikan.
Selain itu tentu juga prestasi mereka yang harus ditiru. Namun untuk bisa mencapai prestasi itu,ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dan itu tidak gampang.
Setelah pensiun, saya harap Ahsan dan Hendra bisa menularkan ilmunya kepada para pemain muda, mungkin nanti sebagai pelatih, penasihat, atau peran lainnya.
Setelah ini, mereka akan kembali ke masyarakat. Jadi masyarakat. Semoga bisa berbaur karena tidak mudah setelah mereka selama ini menjalani kehidupan sebagai atlet. Semoga semua perubahan itu bisa lancar dan tidak membuat mereka kaget.