Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Demokrat menyatakan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang akan disahkan menjadi Undang-Undang tak bakal membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru. Begitu pu jika pemilihan kepala daerah digelar secara tak langsung dengan mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
“Zaman Orde Baru itu kan DPRD-nya stempel karet semua. Sekarang sudah reformasi. DPRD akan diawasi ketat oleh publik dan lembaga swadaya masyarakat,” kata Wasekjen Demokrat Ramadhan Pohan di gedung DPR, Jakarta, Senin (8/9).
Menurut Ramadhan, tak ada satupun sistem pemerintahan yang sempurna. “Dulu saat pemerintah mengusulkan kepala daerah dipilih DPRD, banyak partai politik tidak setuju. Sekarang saat mayoritas parpol sudah setuju kepala daerah dipilih DPRD, malah pemerintah yang tidak sepaham,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RUU Pilkada merupakan inisiatif pemerintah. Semula pemerintahlah yang menghendaki kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Namun di tengah proses pembahasan RUU di DPR, pemerintah mengubah pandangannya mengikuti suara mayoritas fraksi di DPR, termasuk Demokrat, yang ingin pilkada tetap digelar langsung di mana kepala daerah dipilih oleh rakyat.
Namun sikap sebagian fraksi di DPR justru berubah pasca pemilu presiden. Mayoritas fraksi kini ingin pilkada tak langsung, yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, dan PKS. Keenamnya merupakan anggota koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo pada Pemilu Presiden 2014.
Ramadhan menganggap pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan kemunduran proses demokrasi. “Kita harus mencoba semua sistem di era reformasi ini untuk mencari yang terbaik. Jadi jangan samakan dengam zaman Orba,” ujarnya.
Demokrat membantah perubahan sikapnya terkait RUU Pilkada terkait dengan hasil pemilu presiden yang tidak menguntungkan mereka. Suara Demokrat diketahui turun drastis di berbagai daerah. Demokrat yang menjadi pemenang pemilu legislatif pada 2009 kini hanya bertengger di urutan keempat di bawah PDIP, Golkar, dan Gerindra.
Anggota Panitia Kerja RUU Pilkada dari Demokrat, Khatibul Umam Wiranu, menyatakan alasan Demokrat mendukung pilkada lewat DPRD adalah demi efisiensi anggaran. “Rp 41 triliun rupiah yang dipakai untuk pilkada langsung jauh lebih efektif bila digunakan untuk membangun infrastruktur di kabupaten dan kota,” kata dia.
Khatibul juga berpendapat, calon yang terpilih dalam pilkada langsung belum tentu yang terbaik. Sampai saat ini ada 333 kepala daerah yang ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi di 524 kabupaten/kota dan 33 provinsi di seluruh Indonesia.
“Korupsi bisa berkurang dengan pilkada tak langsung karena biaya politik yang dikeluarkan calon serta biaya penyelenggaraan pilkada dari pemerintah juga jadi minimal,” ujar Khatibul.
Namun pendapat berbeda dilontarkan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Menurutnya, pilkada oleh DPRD merupakan bentuk korupsi demokrasi. Kepala daerah terpilih pun berpotensi menjadi mesin uang anggota DPRD setempat. Pilkada tak langsung dikhawatirkan menyuburkan praktik suap-menyuap. Pengusaha atau korporasi misalnya dapat dengan mudah menyogok anggota DPRD agar kepentingannya diloloskan. Anggota DPRD pun lebih leluasa memeras kepala daerah.
PKB sebagai salah satu partai yang mendukung pilkada langsung pun cemas pilkada tak langsung akan membuat kepala daerah merasa tak punya tanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya karena ia dipilih oleh DPRD, bukan langsung oleh rakyat. Pemilihan lewat DPRD pun membuat rakyat tak bisa berpartisipasi dalam proses demokrasi yang lebih luas.