Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang mencari '1001' cara untuk menggagalkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang telah disetujui DPR pada rapat paripurna Jumat (26/9). Ia berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Konsitusi Hamdan Zoelva, berdiskusi dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan bertanya pada pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Jalan berliku sesungguhnya tak perlu ditempuh SBY bila ia dapat menjaga soliditas Demokrat untuk mendukung opsi pilkada langsung dalam voting di paripurna DPR. Namun nasi sudah menjadi bubur. UU Pilkada menuai protes luas dari rakyat yang merasa haknya dicabut dalam memilih kepala daerah. CNN Indonesia merangkum untuk Anda berbagai saran para pakar untuk SBY dalam mempertahankan pilkada langsung.
SBY mengkaji penggunaan Pasal 20 ayat 2 dalam konstitusi untuk menolak UU Pilkada. Bisakah ini dilakukan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak. Pasal 20 ayat 2 UUD '45 berbunyi “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Tapi menurut
Ketua MK Hamdan Zoelva, sekalipun Presiden SBY menyatakan tidak menyetujui UU Pilkada, Menteri Dalam Negeri selaku bawahan SBY hadir dalam rapat paripurna DPR yang menyetujui UU Pilkada.
Sudah menjadi tradisi bahwa dalam setiap pembahasan RUU di paripurna DPR, presiden selalu menunjuk menteri untuk mewakili pihak pemerintah. Maka meski menteri tersebut secara eksplisit tidak memberi persetujuan atas suatu RUU untuk menjadi UU, kehadirannya dimaknai sama saja dengan memberi persetujuan.
Pandangan Ketua MK ini dipatuhi SBY. Opsi ini pun dicoret dari daftar '1001 cara SBY menggagalkan UU Pilkada.'
SBY menolak untuk menandatangani UU Pilkada sampai masa jabatannya berakhir. Bisakah ini ditempuh?Tidak. Berdasarkan Pasal 20 ayat 5, RUU yang telah disetujui bersama pemerintah dan DPR namun tidak disahkan presiden, akan tetap sah menjadi UU dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui.
Di sinilah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memberikan pandangannya. Namun saran Yusril tersebut ditentang oleh pakar hukum tata negara lainnya, Refly Harun. Berikut 'perang' pendapat di antara keduanya.
Yusril Ihza Mahendra: Presiden SBY tak perlu menandatangani UU Pilkada sampai masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober. SBY bisa melakukannya dan tak bisa dianggap salah karena pada tanggal itu tenggat UU Pilkada untuk berlaku (30 hari setelah disetujui) belum terlewati.
Selanjutnya presiden baru Jokowi juga tidak menandatangani UU tersebut dengan alasan tidak ikut dalam proses pembahasannya. Jokowi punya waktu enam hari di awal pemerintahannya (sesuai tenggat 30 hari yang jatuh 26 Oktober) untuk mengembalikan UU Pilkada ke DPR untuk dibahas kembali oleh anggota DPR baru periode 2014-2019. Pada saat itu, peta politik di DPR belum tentu sama seperti ketika UU Pilkada disetujui pekan lalu.
Refly Harun: Saran Yusril bisa menjadi jebakan
betmen bagi Jokowi. Itu seperti SBY melempar bola panas ke Jokowi. Jokowi bisa dianggap melanggar konstitusi, persisnya Pasal 20 ayat 5 UUD '45, karena tidak menandatangani UU Pilkada yang batas waktu diundangkannya jatuh pada masa pemerintahan dia.
Pasal 20 ayat 5 UUD '45 berbunyi “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
Yusril Ihza Mahendra: Memang belum pernah ada presedennya presiden baru mengembalikan UU yang telah disetujui ke DPR. Ini situasi spesifik. Kejadiannya belum pernah ada. Pasal 20 ayat 5 tidak mengatur situasi khusus ini. Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah RI.
Refly Harun: Tidak produktif melibatkan Jokowi. SBY harus bertanggung jawab penuh atas UU Pilkada. UU Pilkada tidak mungkin disetujui DPR apabila SBY memberikan instruksi tegas kepada partainya, Demokrat, untuk solid mendukung opsi pilkada langsung, dan memberi perintah jelas kepada Mendagri untuk menolak opsi selain pilkada langsung pada rapat paripurna DPR.
SBY sebaiknya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur tentang pencabutan UU Pilkada untuk diganti dengan UU Pilkada Langsung. Presiden SBY punya kewenangan konstitusional untuk mengeluarkan Perppu. Selanjutnya biar anggota DPR baru periode 2014-2019 yang menilai apakah Perppu tersebut layak atau tidak.
SBY menandatangani UU Pilkada, kemudian menggugatnya ke MK. Bagaimana kans opsi ini?Bagus. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga dan praktisi pemilu
Ramlan Surbakti menilai uji materi atau gugatan ke MK paling memungkinkan untuk mengembalikan mekanisme pilkada ke tangan rakyat. Terlebih gerakan rakyat untuk menggugat UU Pilkada semakin besar dan terkoordinir. Sudah ada 2.500 orang lebih yang mendaftar untuk menggugat UU Pilkada melalui KontraS, dan 5.000 lainnya mendaftar lewat Perludem.
Di sisi lain,
Refly Harun berpendapat opsi terakhir ini sama saja artinya dengan SBY lepas tanggung jawab dari kesalahannya, sehingga akhirnya rakyat bergerak sendiri untuk meluruskan proses demokrasi Indonesia.