Jakarta, CNN Indonesia -- Jumlah penggugat Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) terus bertambah. Beberapa pemohon mendatangi langsung gedung Mahkamah Konstitusi, ribuan lainnya menghimpun kekuatan lewat berbagai lembaga seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
“Individu yang mendaftarkan gugatan lewat kami sudah 5.000 orang,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni kepada CNN Indonesia, Selasa (30/9). Perludem kini membangun komunikasi dengan ribuan orang itu.
Perludem menjelaskan kepada mereka tata cara pengajuan gugatan ke MK. “Kami minta mereka untuk menyerahkan surat kuasa yang menunjuk kami sebagai perwakilan mereka,” ujar Titi. Sementara bagi yang belum sempat menyerahkan surat kuasa akan dicantumkan sebagai pendukung permohonan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah serupa juga ditempun KontraS. Ribuan orang telah mendaftarkan gugatannya ke MK lewat lembaga pemantau hak asasi manusia itu. Mereka tak hanya berasal dari dalam negeri, tapi juga warga negara Indonesia yang sedang menempuh studi atau bekerja di luar negeri.
Koordinator KontraS haris Azhar yakin gerakan rakyat menggugat UU Pilkada ini akan menjadi kekuatan besar, sebab masyarakat berkepentingan langsung atas dicabutnya hak mereka dalam memilih kepala daerah. Pilkada oleh DPRD bisa menutup kesempatan bagi orang-orang nonpartai yang potensial untuk menjadi pemimpin.
Institusi yang juga berniat mengajukan gugatan terhadap UU Pilkada adalah Dewan Perwakilan Daerah RI, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).
UU Pilkada pun membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersudut. Ia dianggap tak cukup bertindak untuk menahan laju pengesahan UU tersebut di DPR. Partai Demokrat yang ia perintahkan untuk mendukung pilkada langsung oleh rakyat justru
walkout menjelang voting RUU Pilkada di rapat paripurna DPR, membuat Koalisi Merah Putih yang mendukung pilkada oleh DPRD menang telak.
SBY kini meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk mengkaji berbagai cara untuk menggagalkan UU Pilkada. Ia juga berkomsultasi dengan Ketua MK Hamdan Zoelva dan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Yusril menyarankan agar SBY tidak menandatangani UU Pilkada sampai masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2014. Yusril juga meminta presiden baru Joko Widodo untuk tidak menandatangani dan mengundangkan UU Pilkada. Jokowi diminta mengembalikan UU Pilkada ke DPR sebelum UU itu berlaku otomatis 30 hari setelah disetujui di paripurna DPR.