Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) mengkritik rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Langkah SBY itu dinilai justru akan menimbulkan komplikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana. Peneliti ASHTN Indonesia Afifi Sunardi mempertanyakan rencana Presiden SBY yang akan mengeluarkan Perpu Pilkada.
"Kegentingan yang memaksa seperti apa yang terjadi sehingga Presiden terbitkan Perpu?" kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini kepada wartawan di Jakarta, Selasa (30/9/2014).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Afifi menyitir Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tentang prasyarat yang harus ada saat Presiden menerbitkan Perpu. Dia menilai saat ini tak ada ihwal yang menjadikan kegentingan yang memaksa.
"Justru Perpu Pilkada dapat dimaknai sebagai cara Presiden mencari jalan keluar atas persoalan yang menimpa dirinya. Kesan sesuka hati dalam penerbitan Perpu sulit ditampik," tegas Afifi.
Sikap demikian, menurut Afifi, bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap konstitusi. Norma yang terkandung di konstitusi, lanjut Afifi, tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
"Konstitusi harus dimaknai sebagai upaya negara untuk memberi perlindungan kepada seluruh tumpah darah, bukan untuk kepentingan pribadi sesuka hati," ujarnya.
Dia juga menyoroti rencana SBY yang akan meneken UU Pilkada namun juga akan menerbitkan Perpu Pilkada. "Harap diingat, pengesahan UU Pilkada beberapa waktu lalu merupakan perwujudan persetujuan antara DPR dan Presiden. Bagaimana bisa, presiden telah menyetujui namun di saat bersamaan tidak setuju. Ini sama saja melecehkan DPR," kata Afifi.