Meski ada Perpu, PDIP akan Tetap Gugat UU Pilkada

CNN Indonesia
Rabu, 01 Okt 2014 15:41 WIB
PDIP sudah menyiapkan plan-b jika Perpu Pilkada nantinya tak mampu membatalkan UU Pilkada. Menggugat mekanisme Pilkada melalui DPRD akan menjadi target mereka.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, saat acara diskusi mengenai Polemik
Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aria Bima mengatakan pihaknya akan tetap menggugat UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) apabila Perpu yang akan dikeluarkan tidak mampu membatalkan seluruh undang-undang tersebut. "Kami apresiasi kehendak Pak SBY, tapi sejauh mana itu terimplementasi dalam keputusan DPR, saya belum yakin," ujarnya ketika ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (1/10).

Ketika ditanya ihwal pasal dan materi gugatan, mantan wakil ketua komisi VI tersebut menuturkan akan menggugat mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. "Substansi perampasan hak pilih menentukan kepala daerah oleh DPRD bukan sesuatu yang pas dan tepat. Kalau ada undang-undang yang mengamanatkan, itu perampasan dan penyerobotan kekuasan," katanya.

Menanggapi potensi gugatan tersebut, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan partai politik berhak mengajukan gugatan. "Kalau PDIP sebagai yang menolak undang-undang, itu bisa mengajukan dan punya legal standing. Individu juga bisa, LSM juga bisa. Kumpulan kepala daerah juga," ucapnya usai menghadiri pelantikan anggota DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan ketua MK itu juga mengatakan seharusnya tidak hanya menggugat materi UU Pilkada tersebut, tetapi juga formil. "Pengajuan formil bukan hanya proses prosedural pembentukan undang-undang, tetapi juga pengujian terhadap semua hal terkait undang-undang yang bukan materi undang-undang," katanya.

Pengajuan formil, menurutnya, dapat membatalkan seluruh undang-undang. Sementara itu, pengujian materiil hanya dapat membatalkan materi tertentu dalam pasal. "Tapi harus dibangun juga argumen yang formil," ucapnya.

Lebih jauh dia mengatakan, kesaksian masyarakat dapat menjadi alat bukti sepanjang hakim mengizinkan. "Kalau hakim progresif bisa. Kalau hakimnya melihat pesan-pesan konstitusi dengan cara morale reading, sociological reading tentu beda dengan grammatical reading. Terpulang kepada bagaimana cara pandang hakim," kata Jimly.

Sementara itu, ketika ditanya ihwal Perpu yang akan dikeluarkan oleh SBY, Jimly mengatakan itu adalah hak dari presiden. "Ya nanti ditanya apa yang genting dan mendesak. Perpu keluar juga belum selesai. Proses pasca-Perpu harus kita lihat," ujarnya.

Lebih jauh dia mengatakan, kalau pada akhirnya UU Pilkada tetap digunakan dan pemilihan dilakukan oleh anggota DPR, maka perlu evaluasi eksistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "KPU dan Bawaslu perlu dievaluasi. Seperti Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang mungkin tidak akan permanen, bisa jadi ad-hoc,” katanya.

Jumat (26/9) dini hari, parlemen mengesahkan UU Pilkada yang menetapkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Praktis, rakyat tidak lagi dapat memilih kepala daerahnya sendiri secara langsung. Penetapan tersebut berdasar hasil voting yang dilakukan oleh seluruh fraksi kecuali Fraksi Demokrat yang memilih walk out.

Sebanyak 226 suara yang mayoritas dari Koalisi Merah Putih mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara itu, 135 suara mendukung Pilkada langsung. Saat ini, draft UU Pilkada sudah diserahkan oleh DPR kepada SBY untuk ditandatangani dan diundangkan. Meski demikian, SBY berencana untuk mengeluarkan Perpu untuk membatalkan UU Pilkada yang baru disahkan itu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER