Perpu Pilkada Dikhawatirkan Dipolitisasi di DPR

CNN Indonesia
Jumat, 03 Okt 2014 14:16 WIB
Perpu pembatalan pilkada oleh DPRD yang ditandatangani Presiden SBY belum final. Masih berisiko ditolak oleh DPR.
Presiden meneken Perpu Pilkada (detikfoto/Setpres Abror Rizky)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar menilai tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pilkada merupakan langkah tepat. Namun ia mengingatkan perpu ini belum final dan karenanya bisa dipolitisasi di DPR sebagai lembaga yang akan menyetujui atau menolak perpu tersebut.

“Memang bagus Presiden segera mengeluarkan perpu. Ada daulat rakyat yang harus diselamatkan. Bagaimanapun pemilihan kepala daerah via demokrasi merusak demokrasi. Kepala daerah bukan pilihan rakyat, tapi pilihan politisi,” kata Zainal kepada CNN Indonesia, Jumat (3/10).

Masalahnya, perpu masih harus dibahas lagi oleh anggota DPR. Dewan nantinya akan menilai apakah perpu itu tepat atau tidak. “Jadi sekarang tergantung pada kapasitas DPR untuk paham substansi. Saya khawatir substansi hilang karena konstelasi politik,” ujar Zainal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perpu Pilkada yang diteken Presiden SBY kemarin menegasikan pasal dalam UU Pilkada yang menetapkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Perpu dikeluarkan atas subjektivitas presiden, namun berdasarkan alasan rasional.

Zainal mencontohkan Perpu Pilkada dikeluarkan untuk menyelamatkan daulat rakyat. “Soal genting dan mendesak, Perpu Pilkada merespons banyaknya demonstrasi masyarakat menolak pilkada oleh DPRD,” kata lulusan Universitas Northwestern, Amerika Serikat, itu.

Apabila DPR menolak Perpu Pilkada sehingga UU Pilkada berlaku, Zainal menyarankan agar UU Pilkada digugat ke Mahkamah Konstitusi. Uji materi atas UU Pilkada bisa dilakukan oleh individu, badan hukum, publik, atau lembaga negara.

Secara terpisah, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menegaskan perpu adalah hak subjektif Presiden SBY. “Seperti kata Mahkamah Konstitusi, kondisi genting untuk menerbitkan perpu ada pada subjektivitas presiden. Objektifitasnya di tingkat DPR saat DPR melakukan penilaian. Masing-masing punya wilayah kerja,” kata Denny di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta.

Perpu dapat dikeluarkan jika ada tiga parameter yang menunjukkan kegentingan, yakni keadaan hukum yang mendesak, kekosongan hukum, dan ketidakpastian. Menurut Denny, ketiga parameter itu tersebut telah terpenuhi sehingga penerbitan Perpu menjadi relevan.

Parameter pertama terkait keadaan hukum yang mendesak, ujar Denny, terjadi karena Komisi Pemilihan Umum harus segera menyiapkan peraturan baru jika mekanisme pemilihan kepala daerah diubah. Padahal membuat aturan baru butuh waktu lama.

Alasan lain dalam menerbitkan Perpu adalah tidak terpenuhinya kuorum dalam pengambilan keputusan UU Pilkada. Berdasarkan Tata Tertib DPR, keputusan paripurna baru sah jika disetujui setengah dari total anggota yang hadir. Rapat paripurna saat itu dihadiri 496 anggota, maka seharusnya minimal ada 248 orang yang menyetujui UU Pilkada. Sementara UU Pilkada hanya disetujui 226 anggota DPR.

“Intinya secara hukum sudah jelas terlihat kegentingan yang mendesak,” kata Denny.

SBY juga tegas menyatakan perpu adalah hak konstitusionalnya selaku presiden. Dalam keterangannya di akun Youtube resminya, Presiden Yudhoyono berharap DPR baru bakal menyetujui Perpu Pilkada itu supaya ada kepastian hukum bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada 2015.



Meski Perpu Pilkada didukung banyak pihak, pakar hukum tata negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai langkah SBY mengeluarkan Perpu Pilkada bukan pilihan bijak. Ia berpendapat perpu tersebut terlalu berisiko.

“Perpu bahaya bila ditolak di DPR, dan potensi penolakannya besar. Kenapa strategi politik berisiko diulangi lagi?” kata Asep. Ia lebih suka menggugat UU Pilkada langsung ke MK karena MK memakai argumentasi hukum dan tidak bisa diintervensi, berbeda dengan DPR yang penuh permainan politik.

Kamis (2/10) malam, SBY meneken dua Perpu. Perpu pertama membatalkan pasal dalam UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah dilangsungkan via DPRD. Perppu kedua membatalkan pasal dalam UU Pemerintah Daerah yang mengatur kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER