Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Agung (MA) menerbitkan surat edaran yang menyebutkan, peninjauan kembali (PK) dibatasi hanya satu kali. Pakar hukum tata negara I Dewa Gede Palguna menuturkan, edaran tersebut dapat mengacaukan penafsiran norma hukum yang sesungguhnya.
Pasalnya, surat edaran itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemberian kebebasan pengajuan PK lebih dari satu kali.
"Itu yang membuat kebingungan publik untuk mengajukan argumen. Ini bukan menyelesaikan masalah, ini menimbulkan masalah baru," ujar Palguna kepada CNN Indonesia, Jumat (2/1).
Palguna berpendapat, MA tidak menghormati MK sebagai lembaga negara dengan menerbitkan Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014. Padahal MA seharusnya menghormati putusan MK yang dikeluarkan pada 6 Maret 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan MK Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 memberikan kesempatan kepada terdakwa pidana maupun perdata untuk mengajukan PK apabila menemukan novum atau bukti baru.
Mantan hakim konsitusi periode 2003-2008 itu mengatakan, jika terdapat perubahan putusan soal PK seharusnya dilakukan MK. "Kalau mau berubah mestinya MK dulu yang mengubah lewat putusan kalau misal nanti ada kesempatan, bukan lembaga negara yang lain," katanya.
Kesempatan dimaksud yaitu melalui pengajuan uji materi soal UU Keuasaan Kehakiman atau UU MA yang mengatur soal PK. Perubahan sikap itu dapat dilakukan sepanjang ada pertimbangan hukum. "Itu yang mestinya dilakukan kalau seorang hakim hendak mengubah pendirian," ujarnya.
Surat Edaran tertanggal 31 Desember 2014 itu diterbitkan dengan pertimbangan untuk memberi kepastian hukum. Ketua MA Hatta Ali juga mneginstruksikan Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK ke MA.
Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.
Sebelumnya, MK melalui putusan nomor 34/PUU-XI/2013 membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membatasi pengajuan PK sebanyak satu kali. Dengan tidak berlakunya pasal tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK berulang kali.
(rdk/sip)