PENINJAUAN KEMBALI

Mereka Terbelah Soal Peninjauan Kembali

Aghnia Adzkia & Sandy Indra Pratama | CNN Indonesia
Senin, 05 Jan 2015 07:01 WIB
Surat edaran Nomor 07 Tahun 2014 yang diteken Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali pada penghujung 2014 itu berdampak panjang. Penegak hukum terbelah.
Ilustrasi lembaga penegak hukum. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Surat edaran Nomor 07 Tahun 2014 yang diteken Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali pada penghujung 2014 itu membawa dampak yang panjang. Lembaga penegak hukum terbelah pendapat atas persoalan upaya hukum peninjauan kembali.

Di satu kubu jelas ada Mahkamah Agung sebagai aktor yang mengeluarkan surat edaran pembatasan upaya peninjauan kembali. keputusan itu lantas didukung oleh Kejaksaan Agung, lembaga eksekutor yang belakangan mengeluh dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan upaya peninjauan kembali bisa dilakukan berkali-kali.

Putusan PK bisa berkali-kali, menurut sang eksekutor, jelas memberikan kepastian hukum bagi upaya eksekusi terhadap para terpidana mati bandar narkotik, sesuai dengan keinginan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sedangkan, di kubu lain ada Mahkamah Konstitusi yang pada Maret tahun lalu mengetukan palu soal polemik upaya peninjauan kembali. Makhamah Konstitusi sudah membatalkan Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyatakan peninjauan kembali hanya dilakukan satu kali. Di belakang MK, Komisi Yudisial juga mengkritik surat edaran Ketua MA.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut mereka, Mahkamah Agung tak sesuai dengan prinsip hukum lex posteriori derogat legi priori atau hukum terbaru mengesampingkan hukum yang lama. Untuk itu, seperti ramai pada pemberitaan pekan lalu, KY berkirim surat untuk meminta penjelasan atas surat ketua MA itu.

Kebingungan hukum di publik jelas bakal menyeruak atas terbelahnya pendapat lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Kepada CNN Indonesia, hal itu diprediksikan oleh pakar hukum tata negara I Dewa Gede Palguna. "Itu yang membuat kebingungan publik untuk mengajukan argumen. Ini bukan menyelesaikan masalah, ini menimbulkan masalah baru," ujar Palguna.

Palguna berpendapat, MA tidak menghormati MK sebagai lembaga negara dengan menerbitkan Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014. Padahal MA seharusnya menghormati putusan MK yang dikeluarkan pada 6 Maret 2014 itu.

Putusan MK Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 memberikan kesempatan kepada terdakwa pidana maupun perdata untuk mengajukan PK apabila menemukan novum atau bukti baru.

Mantan hakim konsitusi periode 2003-2008 itu mengatakan, jika terdapat perubahan putusan soal PK seharusnya dilakukan MK. "Kalau mau berubah mestinya MK dulu yang mengubah lewat putusan kalau misal nanti ada kesempatan, bukan lembaga negara yang lain," katanya.

Lantas bagaimana para punggawa hukum ini bakal membawa polemik yang pelik? Secepatnya mereka harus memberikan kepastian kepada publik. (sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER