Jakarta, CNN Indonesia -- Isu penyelamatan warga negara Indonesia (WNI) yang dipidana hukuman mati di luar negeri masih menjadi salah satu fokus bagi pemerintah dan DPR. Hal tersebut menjadi salah satu hal yang dibahas dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPR bersama dengan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi.
Anggota Komisi I fraksi PDIP, Tubagus Hasanudin, mempertanyakan kemungkinan adanya solusi baru untuk menyelamatkan WNI yang akan dieksekusi mati di Arab Saudi, selain membayar
diyat.
"Kalau kita terus bayar
diyat bagaimana? Mengingat kurs dolar dan riyal juga terus naik. Barang kali solusi yang tadi dalam menyelesaikan itu apa perlu
mindset baru yang diterima secara hukum, tapi rasa keadilan rakyat tercapai?," tutur Hasanudin di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (12/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal tersebut, Menteri Retno pun mengungkapkan adanya pembatasan yang dilakukan mengenai
diyat. Lebih lanjut, pembatasan tersebut dihasilkan berdasarkan fatwa dari pertemuan bersama para ulama-ulama di Saudi.
"Mengenai
diyat, ada rasa keadilan yang harus kita pertimbangkan. Kita sudah membatasi mengenai
diyat. Fatwa ulama-ulama di Saudi, apabila yang terancam itu perempuan maka
diyat 200ribu riyal. Apabila laki-laki, maka
diyatnya 400ribu riyal," papar Menteri Retno.
Kendati demikian, ia mengatakan pembatasan tersebut masih dalam tahap pembahasan bersama dengan pemerintah. "Kami sedang bahas seberapa besar maksimal yang diberikan pemerintah untuk membayarkan
diyat," jelasnya.
Meskipun ada pembatasan terkait pembayaran
diyat, Menteri Retno menjelaskan ada banyak hal yang masih dapat dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi WNI, seperti menyediakan kuasa hukum, menghadirkan keluarga, kemudian mendampingi ke konselor, mendekati para tokoh-tokoh masyarakat, hingga melakukan upaya diplomatik.
"Kami dapat sampaikan dan tekankan, apa yang dilakukan oleh perwakilan kami di luar negeri sudah
extra-mile untuk melindungi warga negara Indonesia," tuturnya.
Kendati demikian, dia mengaku ada satu titik dimana pemerintah sama sekali tidak dapat melakukan upaya penyelamatan terhadap WNI lagi. Titik itu adalah, di saat keluarga korban tidak dapat memberikan maaf kepada WNI yang menjadi tersangka.
"Presiden SBY dan Jokowi sudah menulis surat berkali-kali ke Raja. Raja yang dulu sudah meninggal, tapi kami juga sudah menulis surat kepada Raja yang baru. Tapi saat keluarga sudah tidak membuka pintu maaf, memang sulit. Bahkan, raja tidak bisa melakukan intervensi," jelas Retno.
Berdasarkan perkembangan terakhir, pemerintah sudah berhasil membebaskan 238 WNI dari hukuman mati. Kendati demikian, masih ada 229 WNI lainnya yang saat ini masih terancam hukuman mati. Menteri Retno memaparkan 57 persen dari angka tersebut merupakan kasus narkoba, 34 persen kasus pembunuhan. Dari sebarannya, paling banyak terjadi di Malaysia dengan 168 kasus, Saudi Arabia 38 kasus, dan Republik Rakyat Tiongkok 15 kasus.
Sebelumnya, salah satu kasus yang pernah disorot adalah kasus Satinah. Satinah mendapat vonis hukuman mati oleh pengadilan Buraidah, Arab Saudi karena melakukan pembunuhan terhadap majikan perempuannya, melakukan pencurian uang sebesar 37.970 riyal pada Juni 2007.
Setelah proses bantuan hukum dan lobi di beragam tingkat, Sarinah dimaafkan bila membayar
diyat sebesar 10 juta riyal atau setara Rp 25 miliar.
(meg)