Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi nonprofit Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) merilis hasil survey yang dilakukan untuk melihat produk apa saja yang paling sering dipalsukan di Indonesia. Dari survei tersebut didapatkan tujuh komoditas yang paling sering dan banyak dipalsukan.
Ketujuh komoditas tersebut adalah perangkat lunak(software), kosmetika, farmasi (obat-obatan), pakaian, barang kulit (tas, dompet, dll), makanan dan minuman, serta tinta printer.
Jika diurutkan berdasarkan persentase, tinta printer, pakaian, produk dari kulit dan perangkat lunak menempati komoditas yang paling banyak dipalsukan dengan persentase lebih dari 30 persen. Tinta printer mendapatkan persentasi 49,9 persen. Pakaian palsu dengan persentase 38,9 persen diikuti barang kulit dan perangkat lunak dengan persentase 37,2 persen dan 33,5 persen.
Sedangkan tiga komoditas lainnya yaitu kosmetik, makanan & minuman palsu serta produk farmasi palsu berada pasa persentas yang cukup rendah yaitu di bawah 15 persen. Kosmetik memiliki persentase 12.6 persen, makanan & minuman palsu mencapai 8,5 persen dan produk farmasi 3,8 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sekretaris Jenderal MIAP Justisiari P. Kusumah, seluruh komoditas yang dipalsukan berpotensi memberikan kerugian kepada negara hingga Rp 65,1 Triliun. Pasalnya, tujuh komoditas ini adalah produk yang paling sering dibeli atau digunakan oleh masyarakat Indonesia.
"Hasil studi ini bukan untuk mendiskreditkan upaya keras yang dilakukan pemerintah dalam mencegah produk palsu. Tetapi untuk melihat peta dampak ekonomi pemalsuan ini bagi indonesia," kata Justisiari dalam konferensi pers MIAP di Hotel Royal Kuningan Jakarta, Rabu (25/2).
"Objek riset studi ini bukan hanya pada konsumen akhir tetapi juga konsumen perantara dan pedagang retail," lanjutnya.
Justisiari menambahkan bahwa kedua rantai konsumsi ini menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan, mengingat pembelian atau penggunaan barang-barang palsu tidak akan marak jika suplai barang tersebut tidak tersedia.
Dalam hasil penelitian ini, potensi kerugian yang dapat dihasilkan dari aktivitas pemalsuan ini mencapai angka Rp 65,1 Triliun. Meningkat 1,5 kali lipat dari 5 ahun sebelumnya.
Justisiari juga menambahkan barang palsu yang ada di Indonesia tidak hanya berasal dari kota besar dalam negeri seperti Jakarta dan Bandung, melainkan juga adanya asupan dari beberapa negara luar seperti Tiongkok dan Taiwan.
(sip)