Jakarta, CNN Indonesia -- Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pasangannya tetapi juga dari aparat penegak hukum. Pendampingan hukum bagi korban KDRT yang melaporkan kasus ke kepolisian dinilai mutlak diperlukan.
Hal tersebut disampaikan oleh Kholidah Lubis selaku pendamping korban KDRT dari Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada), organisasi non-profit yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan saat ditemui CNN Indonesia di Medan, Sumatra Utara, akhir Februari lalu.
“Banyak pertanyaan polisi yang arahnya menyalahkan dan menyudutkan perempuan. Makanya, para korban harus didampingi saat pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Jangan sampai ada pertanyaan yang bias gender,” ujar perempuan yang telah berkecimpung dalam dunia advokasi hak-hak perempuan selama sepuluh tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kholidah mengatakan polisi kerap menyarankan korban berdamai dengan suaminya meski telah berpuluh-puluh tahun menjadi korban KDRT. “Banyak korban yang malah disuruh pulang ke rumah suaminya, padahal sudah 20 tahun jadi korban KDRT. Bahkan, kalau tidak kami dampingi, korban kerap dimintai uang rokok atau uang tinta,” kata Kholidah sembari menarik napas.
Di samping itu, dia menilai ketidakseriusan para korban KDRT pun kerap menjadi kendala dalam memerangi kasus KDRT. Korban justru seringkali melindungi suaminya yang merupakan pelaku kekerasan. “Ada yang sudah yakin melaporkan kasusnya ke kami. Namun kemudian keesokan harinya mereka berubah pikiran dan memilih tidak melanjutkan proses hukum,” ucapnya.
Bila sudah begitu, Kholidah tidak bisa memaksakan kehendak korban. Semua keputusan ada di tangan korban. “Para pendamping hanya berusaha menyadarkan mereka dan menjelaskan risiko-risiko yang akan mereka hadapi bila mengambil keputusan tertentu,” ujarnya.
Meski demikian, sebagai pendamping korban yang telah berpengalaman, perempuan ini memutuskan untuk tidak tinggal diam melihat kendala tersebut. “Kami akan awasi terus. Salah satunya dengan memberi tahu kepala desa bahwa ada warganya yang menjadi korban kekerasan sehingga bisa dibantu untuk diawasi,” ujar Kholidah.
Cara lainnya yang dinilai oleh Kholidah efektif adalah dengan memberikan surat somasi. “Kalau korban bersikeras tidak mau melaporkan suaminya ke polisi padahal sudah dipukuli bertahun-tahun, kami akan sarankan memberikan surat somasi. Biasanya para suami akan berubah, mereka akan berpikir kembali sebelum memukul istrinya,” kata Kholidah.
Neni (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu perempuan korban KDRT yang meminta pendampingan secara hukum kepada LSM Persada. Perempuan berusia 28 tahun ini diusir oleh suaminya serta dipisahkan dari ketiga anaknya. “Suami saya selingkuh dengan perempuan lain. Semenjak itu, ia jadi kasar terhadap saya,” ujar Neni dengan nada lirih kepada CNN Indonesia di kantor Pesada.
Bukan hanya itu, anak bungsunya yang masih berusia dua tahun mengalami penganiayaan dari ibu tirinya. “Ada luka di kemaluan seperti luka bakar, begitu pula di pipinya. Giginya patah, dagu dan pelipis pecah, serta sekujur tubuhnya biru,” kata Neni sambil terisak.
Neni kemudian melaporkan kejadian yang telah berlangsung pada akhir tahun 2014 lalu ke kepolisian. “Polisi mengatakan masih akan memanggil saksi-saksi,” katanya. Adanya pendampingan untuk menjalani proses hukum tersebut membuat Neni menjadi lebih percaya diri.
”Jadi lebih mudah kalau didampingi. Kalau hanya saya sendiri,kurang diperhatikan pihak kepolisian karena saya cuma orang biasa,” ujar Neni.
Menjemput bolaPendampingan korban KDRT juga dilakukan oleh Suriyani (43) yang aktif berorganisasi di organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang pembedayaan perempuan bernama Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari), Medan.
Bukan hanya duduk diam menunggu laporan, ia berusaha lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya. “Kalau ada tetangga ribut, apalagi kalau perempuan sudah menjerit, saya langsung datangi rumahnya. Saya tanya sampai detil apa yang terjadi, mengapa sampai menjerit,” tutur Suriyani.
Menurutnya, sikap kepedulian seperti itu sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya KDRT. “Jujur, kalau dulu saya tidak berani melakukannya. Meski ada panci terlempar sampai ke luar rumah, masih berpikir kalau itu urusan orang lain. Takut, kalau ikut campur malah salah. Kalau sekarang, langsung saya datangi,” kata Suriyani bercerita.
Menurutnya, kesadaran perempuan sangat perlu untuk memberantas KDRT. Pasalnya, tanpa adanya kesadaran kekerasan dalam hubungan hanya akan dianggap oleh perempuan sebagai hal yang biasa-biasa saja.
“Ada satu kasus di mana si perempuan mengalami kekerasan dari pacarnya. Namun, ia tetap saja melindungi pacarnya dengan alasan cinta. Saya katakan, coba pahami, mana cinta dan mana nafsu,” ujar perempuan yang telah bergabung dengan Hapsari sejak 2003 ini.
Salah satu strategi yang dilakukan untuk penyadaran tersebut adalah dengan melakukan diskusi antara sesama korban KDRT. Biasanya, kata Suriyani, korban akan lebih terbuka dengan sesama korban. Dari situ, mereka akan mulai sadar bahwa selama ini telah mengalami ketidakadilan dari pasangannya.
Di sisi lain, Kholidah berpendapat pemuka agama punya pengaruh yang sangat besar untuk membuka wawasan para korban KDRT. “Biasanya kami akan undang para tokoh agama yang bisa memberikan pemahaman gender,” katanya.
Sejauh ini, kasus KDRT bagaikan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat. Berdasarkan data 2012 dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tercatat ada 8.315 kasus kekerasan KDRT. Hampir 46 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis, sedangkan sebanyak 28 persen berupa kekerasan fisik, 17 persen kekerasan seksual, dan delapan persen kekerasan ekonomi.
(utd)