Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga Rodrigo Gularte, terpidana mati asal Brasil, mengklaim bahwa Gularte mengidap penyakit skizofrenia paranoid sejak Juni 2014. Pendapat ini mengacu pada hasil pemeriksaan dari lima dokter dan empat psikiater yang dikumpulkan keluarga Rodrigo.
"Mungkin ini terlambat, tapi ini benar. Lima dokter dan empat psikiater sudah bilang dia skizofrenia. Bagaimana bisa dieksekusi?" ujar sepupu Gularte, Angelita Muxfeldt, seusai konferensi pers di Jakarta, Selasa (17/2).
Gularte saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia menunggu proses eksekusi mati yang telah divonis oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada 7 Februari 2005 lalu karena kedapatan menyembunyikan 6 kilogram kokain dalam papan selancar pada 31 Juli 2004 di Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, Banten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Vonis mati yang dijatuhkan kepada Gularte pun menuai kontroversi. Menurut Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak boleh dipidana.
Dalam ayat satu pasal tersebut menyatakan barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena daya akalnya
(zijner verstandelijke vermogens) cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Ayat tersebut diperkuat dengan ayat dua yang berbunyi, jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Pengidap skizofrenia termasuk ke dalam golongan gangguan kejiwaan. Umumnya, ia mengalami gejala psikotik, seperti berhalusinasi atau mengalami waham. Tak jarang penderita skizofrenia biasa melihat orang lain sebagai obyek yang berbeda.
Di Indonesia sendiri banyak pengidap skizofrenia yang melakukan tindak pidana. Misalnya, kasus pembunuhan sadis yang dilakukan Supardi (32) terhadap ibunya di Surabaya pada 2013 silam. Bahkan setelah membunuh, Supardi juga sempat memakan hati si ibu dan mengatakan itu enak.
Meski terjerat hukum pidana, kasus Supardi berhenti setelah Kejaksaan Negeri Surabaya mendapat rekomendasi dokter yang menyatakan Supardi sakit jiwa. Supardi pun akhirnya bebas dari proses hukum, berdasarkan pada Pasal 44 ayat (1) KUHP.
Masih di tahun yang sama, kasus mutilasi Sigit Indra Tanaya (42) terhadap ibunya sendiri di Bendungan Hilir, Jakarta, juga berakhir tanpa proses hukum. Sigit yang diketahui mengidap skizofrenia akhirnya dikembalikan ke keluarganya dan dianjurkan dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), seperti dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP.
Mengacu pada dua kasus tersebut, kuasa hukum Gularte bersikeras meminta Kejaksaan Agung menunda eksekusi mati dan melihat Pasal 44 KUHP serta aturan perundang-undangan lainnya terkait hak asasi manusia (HAM). Namun, Kejaksaan Agung telah pada putusan final untuk tetap mengeksekusi terpidana mati sesuai putusan grasi dari Presiden Joko Widodo.
(utd/obs)