Jakarta, CNN Indonesia -- Menjadi anak ketiga dari tokoh intelijen nasional Abdullah Makhmud Hendropriyono, diakui Diaz Hendropriyono tak membuat dia selalu aman. Keamanan fisik bukan hal besar yang ia khawatirkan. Namun, aman dari ejekan alias sasaran '
bully' di media sosial menjadi hal yang tidak bisa ia hindari.
Tak hanya penilaian tentang sosok sang ayah sebagai intelijen yang dilekatkan oleh banyak orang kepada Diaz, tapi juga kisah pelanggaran hukum yang diduga dilakukan ayahnya, mau tak mau turut mengikuti nama Diaz.
Begitu pun ketika awal tahun ini Diaz resmi duduk di kursi Komisaris PT Telkomsel, nama sang ayah sempat disebut-sebut punya pengaruh atas keberadaan Diaz di level atas manajemen perusahaan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski menjabat kursi Komisaris Telkomsel, Diaz tak sia-sia punya latar belakang intelijen seperti ayahnya. Banyak yang belum tahu bahwa sejak November 2014, putra mantan Kepala Badan Intelijen Negara itu resmi menjabat sebagai Staf Khusus Bidang Intelijen Menteri Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. (Baca:
Di Balik Penunjukan Putra Hendropriyono Jadi Stafsus Menteri)
Dalam perbincangannya dengan CNN Indonesia, Rabu (1/4), pria kelahiran Jakarta, 25 September 1978 itu membeberkan soal kepercayaan yang diberikan oleh Menteri BUMN untuk berada di
top-management perusahaan plat merah, menjadi 'pembisik' Menkopolhukam, hingga soal nama besar keluarganya.
Dipilih oleh Menteri BUMN Rini Soemarmo sebagai Komisaris Telkomsel, banyak yang menyebut posisi itu sebagai imbalan bagi Anda yang membantu Jokowi saat kampanye. Tanggapan Anda?Enggak ada, benar-benar enggak ada
agreement di awal (kampanye) yang menyatakan "Dukung lalu nanti dapat ini dan dapat itu." Saya rasa itu berkembang secara natural di sana, dan kebetulan ayah saya juga terlibat di Tim Sukses (Jokowi). Jadi, saya berinteraksi dengan Pak Jokowi dan akhirnya di situ kami saling mengenal. Berkembang secara natural saja, Ibu Rini tiba-tiba menawarkan ke saya bagaimana sekiranya jika membantu di BUMN, di Telkomsel.
 (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Tapi tidak dapat dipungkiri mengenai adanya kesan Anda dipilih karena Anda orang dekat Jokowi, kan?Iya benar, kesan itu susah dihilangkan, tapi akan hilang dengan sendirinya jika memang orang yang dipilih mempunyai kapasitas dan kapabilitas. Apalagi nanti jika memang secara internal mengakui bahwa orang-orang yang dipilih itu mempunyai kontribusi yang besar kepada perusahaan. Jadi mau itu si A, si B dekat dengan si C, semua akan terbantahkan dengan waktu dan kinerja yang ada. Kita harus melihat dalam dua pandangan yang seimbang.
Kalau tentang relawan atau orang-orang di Tim Transisi yang juga dipilih menempati posisi strategis saat ini, apakah prosesnya sama dengan Anda?Saya enggak tahu. Saya enggak tahu masing-masing relawan bagaimana. Jadi memang pas selesai kampanye, dipilih tim relawan yang mempunyai kapabilitas, mana-mana saja orangnya. Saya pun enggak tahu siapa yang menyeleksi itu.
Apa Anda sebelumnya punya latar belakang di industri telekomunikasi?Saya sedekat-dekatnya dengan telekomunikasi itu di BIN. Saat saya pulang dari Amerika, saya diminta jadi analis BIN, sebagai Anggota Dewan Analis Strategis. Di sana jabatan saya nonstruktural.
Tentang Staf Khusus Menkopolhukam, bagaimana awal ceritanya?Saya diminta jadi staf ahli bidang intelijen itu setelah kampanye di bulan November. Saat itu yang meminta Pak Tedjo. Sebelumnya saya memang dekat dengan kader Nasdem lain. Saya juga sering bertukar pikiran dengan Pak Tedjo.
Apa tugas Anda di sana?Saya kebetulan dari dulu tugasnya sama saja. Menganalisa isu-isu strategis, memberikan saran seperti
supporting staff. Waktu di BIN unit saya itu bisa dibilang unit
think tank. Jadi Badan Analis Strategis itu nonstruktural yang dibentuk langsung di bawah Kepala BIN. Kurang lebih tugas saya di Menkopolhukam juga seperti itu.
 (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Mendapat posisi di Bidang Intelijen, Anda mau-tak mau diidentikan oleh masyarakat dengan cerita positif sekaligus negatif ayah Anda. Menurut Anda?Saya mewarisi dari ayah saya semua teman dan semua musuhnya. Jadi termasuk 'musuh-musuh dari Talangsari', diwariskan kemarahannya kepada saya. Dari sosial media, dari manapun. Setiap muncul nama saya di media, wah ini anaknya si ini nih, si tukang jegal, pembunuh, jadi bahan
bully-an.
Lantas apa tanggapan Anda kepada mereka yang mem-bully Anda karena cerita ayah Anda?Ya, kalau dipikir-pikir memangnya saya
ngelakuin apa sih? Tapi enggak apa-apa karena saya jadi punya teman banyak.
(meg/agk)