Jakarta, CNN Indonesia -- Perlindungan dan pemenuhan hak kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Diskriminasi dan problem sosial mereka alami setiap harinya bahkan hingga bertahun lamanya.
Tak jarang, mereka terjebak dalam kemiskinan lantaran sulit mendapatkan pekerjaan yang diidamkan dan memperoleh lingkungan yang menerima kehadiran mereka. Namun, di antara mereka, banyak pula yang sukses dan bahkan memperjuangkan hak LGBT.
CNN Indonesia mencoba menggali pandangan dan pemikiran Dede Oetomo, seorang gay yang aktif memperjuangkan hak-hak LGBT di Indonesia. Melalui sambungan telepon, CNN Indonesia berbincang dengan Dede Oetomo pada Kamis (2/4).
(Baca Juga: FOKUS Catatan Harian Buruh Pelangi)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dede menyelesaikan studi doktornya dalam bidang linguistik di Cornell University, Amerika Serikat. Pada 1982, ia mendirikan Lambda Indonesia di Solo yang merupakan organisasi LGBT pertama di Indonesia. Kemudian, ia juga mendirikan GAYa Nusantara pada 1987 yang bergerak dalam isu-isu LGBT.
Dede juga pernah mendapatkan penghargaan Felipa de Souza dari International Gay and Lesbian Human Rights Commission pada 1998 karena kontribusinya untuk perjuangan hak-hak LGBT.
Berikut ini kutipan wawancara reporter
Yohannie Linggasari dengan Dede mengenai peran pemerintah dalam pemenuhan hak-hak LGBT di Indonesia:
Apakah pemerintah Indonesia telah mengakui LGBT?Sekarang tinggal definisi mengakui itu apa. Yang jelas, tidak ada perlindungan anti diskriminasi yang spesifik, yang khusus menyebutkan perlindungan untuk LGBT. Itu tidak ada. Di beberapa kota di Filipina, sudah ada peraturan daerah yang secara khusus melindungi LGBT. Kalau itu yang dimaksud, sejauh ini tidak ada undang-undang di Indonesia yang memberikan perlindungan bagi LGBT. Kecuali, di Undang-Undang Dasar 1945, yang itu pun sifatnya sangat umum. Tidak ada undang-undang atau peraturan apapun di Indonesia yang menyebutkan kata ‘LGBT’.
Pemerintah juga belum secara resmi mengungkapkan bahwa semua golongan, termasuk LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks) adalah warga yang harus dilindungi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga setengah-setengah kalau bicara soal LGBT. Kalau ada pertemuan bisa datang sih, tetapi menterinya juga belum memberikan pernyataan resmi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise juga belum pernah secara resmi membicarakan hak-hak kaum lesbian.
Kalau lembaga nonpemerintah seperti Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, sudah terbuka membicarakan LGBT. Mereka sudah bisa memberikan pernyataan dan program nyata. Begitulah kira-kira perkembangan Indonesia sejauh ini.
Dibandingkan dengan negara lain, sejauh apa ketertinggalan Indonesia dalam pemenuhan hak-hak LGBT?Melihat tren yang maju di dunia, ketertinggalan Indonesia dibandingkan negara lain adalah Indonesia tidak bisa menerima gender lain selain perempuan dan laki laki. Padahal, Thailand saja sudah mengakui. Bahkan, Nepal, Bangladesh, dan Pakistan sudah mengakui gender ketiga. Walaupun, tidak secara langsung mengakui lesbian atau gay. Namun, saya pikir, statusnya (lesbian atau gay) tidak diakui tidak apa-apa, yang penting ada perlindungan dari diskriminasi. Nah, itu yang tidak ada di Indonesia. Misalnya kelompok LGBT sedang buat acara lalu dibubarkan oleh sejumlah massa, itu tidak ada perlindungan dari polisi.
Artinya, Indonesia masih sangat terbelakang untuk urusan kemerdekaan dan perlindungan LGBT?Iya. Jadi masalahnya diputar-putar seperti lingkaran setan gitu, ya. Sebetulnya kalau mau dibawa ke pengadilan dan kuasa hukumnya benar, itu bisa saja, dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 I ayat 1 dan 2, namun itu umum sekali. Dan seingat saya, belum ada yang melakukannya.
Apakah mungkin pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), akhirnya ada perubahan kebijakan yang lebih baik untuk LGBT?Menurut saya, secara umum pemerintah itu tidak mengerti. Ada dua persoalan utama. Pertama, mereka tidak mengerti isunya dan tidak mengerti persoalannya. Dugaan lainnya, mereka pura pura tidak tahu. Pura-pura tidak tahu kalau ada orang seperti LGBT. Namun, tidak bisa juga dibilang kalau pemerintah anti LGBT.
Kedua, pemerintah ragu-ragu untuk secara positif membela LGBT. Contohnya, pemerintah yang sekarang kalau menerima delegasi LGBT pasti secara informal. Tidak pernah mereka menerimanya secara formal. Kalau dibandingkan, presiden Mongolia pernah menjamu makan delegasi LGBT secara formal. Sementara, Indonesia belum pernah melakukan itu. Tapi kayaknya Jokowi kurang tahu untuk isu sosial, yah. Dia sama seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Mereka adalah tipe manajer yang baik. Untuk urusan ekonomi, oke. Namun, untuk urusan sosial, mereka enggak jalan. Begitu pula dengan menteri-menterinya.
Waktu Jokowi kampanye, kaum waria ikut meramaikan kampanyenya, bukan?Itu cerita lama. Dari zaman kampanye Partai Golongan Karya dulu, waria sudah dimanfaatkan untuk kampanye. Kalau mau rame-ramein, bisa. Waria jadi badutnya, jadi komediannya. Waktu kampanye Jokowi-Jusuf Kalla pun, waria ada, tetapi belum diterima resmi. Cuma ikut rame-rame. Padahal ‘kan bisa saja saat Jokowi kampanye di Monumen Nasional, lalu ada grup waria yang manggung. Yang paling mungkin kan seperti itu. Itu saja belum.
Waria hanya dimanfaatkan saat kampanye?Ya. Saya juga bisa katakan bahwa calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat kampanye melakukan dialog dengan waria. Namun, pas terpilih, sudah selesai, tidak ada apa-apa lagi. Tidak ada usaha bertemu lagi. Ya karena itu tadi, mereka enggak ngerti persoalannya. Yang agak mending sih Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Namun, kalau dibaca betul, pernyataannya masih anti juga terhadap LGBT sebenarnya. Harapan kami, Menteri Agama tuh seperti Siti Musdah Mulia yang menunjukkan bahwa Islam itu harus melindungi semuanya tanpa terkecuali.
Orang Indonesia belum terlalu paham dengan konsep gender?Iya. Gender masih dianggap urusan perempuan. Minimal sekali kesadaran gender di Indonesia.
Sebenarnya apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk perlindungan LGBT?Sebetulnya begini ya, menariknya, ketika ada orang yang mengerti LGBT di pemerintahan, orang itu juga tidak pernah memberi pernyataan. Ketika dia masuk pemerintahan, dia tidak bisa bicara banyak. Padahal, sebelum masuk pemerintahan, dia lebih bebas. Dugaan saya, ketika dia di pemerintahan, ada yang mengingatkan. Begitu ya, sifatnya orang Indonesia, dikit-dikit takut. Coba deh Ahok, berani enggak dia? Tapi saya rasa dia seperti Jokowi. Dia manajer yang baik, jujur, dan transparan. Namun, ketika ngomongin isu seksualitas, dia enggak sampai.
Apa yang membuat pemerintah begitu ragu membela LGBT?Kalau bela LGBT itu rugi, mungkin begitu pemikirannya politiknya. Waktu Jokowi jadi Walikota Solo, dia juga enggak pernah ngapa-ngapain. Padahal, kami mengharapkan seorang pejabat pemerintahan bisa memberikan pernyataan resmi mendukung LGBT atau memberikan program dan kebijakan nyata.
(utd)