LIPUTAN KHUSUS HARI BURUH

Cerita Jumisih yang Bergulat Bersama Buruh Lesbian

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Jumat, 01 Mei 2015 13:43 WIB
"Kepedulian saya terhadap kaum LGBT ternyata membuat saya banyak mendapat stigma dari orang lain. Saya dianggap aneh dan menyimpang," kata Jumisih.
Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih. (CNN Indonesia/ Yohannie Linggasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Saya Jumisih. Saya Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang berbasis di Cakung, Jakarta Utara. Saya telah berkeluarga, ibu dari satu orang anak. Sehari-hari, saya aktif di FBLP demi memperjuangkan hak cuti haid serta hak upah yang hingga kini belum juga terpenuhi baik.

Dalam kegiatan perjuangan hak-hak buruh, FBLP tidak sendirian. Kami turut berjuang bersama Perempuan Mahardhika, sebuah lembaga nonprofit yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan. Selain itu, kami juga merangkul Pelangi Mahardhika dalam agenda perjuangan kami.

Adapun, Pelangi Mahardhika merupakan organisasi di bawah naungan Perempuan Mahardhika. Pelangi Mahardhika punya kekhususan, yaitu menaungi buruh pabrik LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), di mana mayoritas anggotanya merupakan lesbian dan priawan (pria wanita).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepedulian saya terhadap kaum LGBT ternyata membuat saya banyak mendapatkan stigma dari orang lain. Saya dianggap aneh dan menyimpang. Rasa simpatik saya untuk para buruh LGBT kerap dianggap keliru.
Pra May Day yang diselenggarakan oleh Pelangi Mahardhika di kawasan Cakung, Jakarta Utara, Minggu (12/4). (CNN Indonesia/ Yohannie Linggasari)
Pernah ada wartawan berbicara begini kepada saya, “Mbak ‘kan ketua FBLP, kenapa sih mengambil tanggung jawab mengorganisir buruh lesbian? Ini ‘kan melanggar agama, ini ‘kan enggak diterima masyarakat kita.” (Baca Juga: Kelam dan Gemilang, Kisah Lain Hidup Buruh Waria)

Saya bilang, saya tidak takut FBLP nantinya dikatakan menyimpang karena mendukung buruh LGBT. Karena nanti pada prosesnya, akan terlihat bahwa buruh LGBT juga punya hak berserikat, hak bersuara, hak dibela, serta hak memperoleh pengetahuan. Jadi jangan didiskriminasi. (Simak Juga: FOKUS Catatan Harian Buruh Pelangi)

Banyak pula yang mempertanyakan, apakah saya tidak takut shalat saya tidak diterima Tuhan? Kalau saya sih, demokratis saja, hubungan saya dengan Tuhan itu hubungan personal, vertikal. Jadi, orang lain silakan bertanggung jawab dengan Tuhannya.


Tetapi, saya dengan manusia lain, semua orang bisa melihat apa yang saya lakukan, apa yang saya advokasi. Dalam hubungan dengan sesama manusia, mungkinkah kita enggak punya empati terhadap orang yang punya persoalan? (Lihat Juga: Cerita Hidup Felicia, Seorang Buruh Pabrik Waria)

Jujur, awalnya pun saya tidak mengerti mereka. Saya mengalami perang batin. Apalagi, pengaruh islam dari ormas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama kuat di keluarga saya. Saya tidak lagi fanatik setelah kenal organisasi serikat buruh. Saya bertanya-tanya, apakah yang saya lakukan benar atau tidak. Apakah saya direstui oleh Tuhan?

Namun, kemudian saya berpikir bahwa hubungan sosial dengan manusia lain adalah hal yang berbeda. Jadi, biarkan hubungan saya dengan Tuhan menjadi tanggung jawab saya. Orang lain tidak perlu sibuk mengurusi hubungan saya dengan Tuhan. (Baca Juga: Cerita Buruh Gay yang Cari Selamat)

Sekitar 2009, saya baru tahu ternyata ada perempuan berpenampilan tomboi yang suka dengan sesama perempuan. Saya coba ikuti kehidupannya, saya pelajari permasalahan mereka. Ternyata, banyak di antara mereka yang sulit keluar dari lingkaran kekerasan berbasis hubungan. Itu perjuangan yang luar biasa dan berdarah-darah.

Saya belajar banyak. Tidak ada istilahnya bahwa menjadi seorang homoseksual itu penyakit menular. Kalau memang nyaman dan memilih orientasi seksual seperti itu, saya pikir sah-sah saja. Tidak perlu dipandang negatif.
Para buruh LGBT merayakan pra Hari Buruh Sedunia di Cakung, Jakarta Utara (12/4). (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari)
Namun, saya paham betul bahwa masih banyak anggota FBLP yang belum bisa menerima kehadiran buruh LGBT. Anggota FBLP sekitar dua ribu orang. Belum tentu, semuanya mau menerima LGBT. Bahkan, masih ada yang takut bersalaman dengan mereka yang LGBT. Ada pula yang batal ikut FBLP karena tahu ada kawan-kawan lesbian. Tapi tidak apa, karena semuanya butuh proses.

Saya katakan kepada mereka bahwa LGBT itu sama seperti kita, sama-sama manusia. Punya orientasi seksual selain heteroseksual, adalah hak. Kalau takut terhadap LGBT, maka pengetahuan pun akan terkungkung dan sempit. Jadi, kita tidak perlu takut kepada LGBT.

Sebelum aktif berorganisasi, Jumisih merupakan buruh di pabrik garmen produksi baju pengantin di bilangan Cakung, Jakarta Utara. Ia menjadi buruh sejak tahun 1998 hingga 2003. Hasrat untuk aktif berorganisasi dimulai ketika Jumisih mengalami peristiwa pahit.

Pada 2003, atasan Jumisih yang merupakan pengusaha dari Taiwan kabur ke negeri asalnya. Si bos hengkang begitu saja tanpa meninggalkan upah maupun pesangon bagi para buruh di pabrik tersebut. Yang tersisa, hanyalah mesin-mesin pabrik.

Jumisih dan kawan-kawannya kemudian “menduduki” pabrik selama tiga bulan. Ia kemudian memimpin sekitar 420 buruh pabrik dan akhirnya melelang pabrik tersebut. Begitu status hukum didapatkan dan lelang berhasil, hasil lelang pun dibagikan ke semua buruh pabrik yang ditinggalkan begitu saja.

Dari peristiwa itu, Jumisih sadar bahwa buruh harus berjuang untuk kehidupannya sendiri, untuk nasib yang lebih baik. Ia bersama kawan-kawannya pun kemudian mendirikan FBLP pada 2009. Hingga kini, masih vokal menyuarakan hak-hak buruh yang terinjak.

Pernah sempat bermasalah dengan organisasi masyarakat yang cukup radikal, Jumisih tidak gentar. “Kalau mau ada perubahan, ayo bareng-bareng. Kalau enggak gerak bareng-bareng, ya bunuh diri,” ujar Jumisih yakin.

Hari ini adalah hari buruh internasional. Namun hingga saat ini, belum ada hitungan pasti seberapa besar komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Sebab masih banyak yang belum bersedia membuka diri soal ini.

Lembaga Buruh Internasional (ILO) bersama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian tentang persepsi anggota serikat buruh tentang pekerja LGBT (lesbian, biseksual, gay, transgender). Judul penelitian ini adalah Gender Identity and Sexual Orientation: Promoting Rights, Diversity and Equality in the World of Work (PRIDE).

Riset ini menunjukkan bahwa pekerja LGBT masih kerap mendapatkan diskriminasi. Ditemukan bahwa mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan (pada umumnya) tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, dirisak, diancam, dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik.

Aktivis LGBT Dede Oetomo berpendapat transgender, terutama waria, mengalami diskriminasi paling berat di antara semuanya. Ekspresi gender dan orientasi seksual yang terlihat jelas membuat kehadiran mereka begitu menonjol dan menjadi pusat perhatian. Dalam banyak kasus, waria paling kesulitan mendapatkan pekerjaan dibandingkan lesbian, gay, biseksual, maupun priawan. Maka tak jarang, waria kerap menjadi pekerja seks komersial karena keterbasan pilihan pekerjaan tersebut. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER