Jakarta, CNN Indonesia --
“Potongan kayak kamu memangnya bisa haid? Bisa hamil? Kalau kayak kamu mah enggak bakalan bisa punya anak.’ kelemahan kamu cuma satu, enggak bisa punya anak.”Jumisih masih ingat betul curahan hati kawannya yang merupakan seorang priawan (pria wanita – transgender). Hanya karena sang kawan seorang priawan dan berdandan selayaknya laki-laki, ia dipersulit untuk mendapatkan cuti haid. Ucapan menyayat hati harus diterima saat meminta sesuatu yang sebenarnya adalah hak bulanan.
“Itu termasuk pelecehan secara psikologis,” kata Jumisih yang kini menjabat Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) kepada CNN Indonesia saat ditemui di kawasan Cakung, Jakarta Utara, medio April lalu.
(Baca Juga: FOKUS Catatan Harian Buruh Pelangi)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekspresi gender dan orientasi seksual yang berbeda dari perempuan pada umumnya, digunakan oleh atasan pabrik untuk mengintimidasi para priawan yang mau minta cuti haid. Jumisih menilai masih banyak atasan pabrik yang enggan memberikan cuti haid dengan alasan produksi akan menjadi tidak stabil.
“Katakanlah, dalam satu pabrik ada 900 orang buruh perempuan. Dalam sehari, seharusnya ada 50 hingga 60 buruh yang cuti haid. Produksi bisa goncang. Itulah yang membuat pengusaha kaget dan kemudian mengintimidasi agar cuti haid tidak diambil,” kata Jumisih.
(Lihat Juga: Cerita Hidup Felicia, Seorang Buruh Pabrik Waria)
Dalam beberapa kasus, intimidasi terhadap priawan yang hendak mengambil cuti haid seperti “dihalalkan”. Berdasarkan pengamatan Jumisih, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, dalam sehari, kini perempuan buruh pabrik yang mengambil cuti haid hanya sekitar tujuh hingga sepuluh orang. “Itu pun sudah jarang. Itu artinya, kami sedang kehilangan hak atas cuti haid,” ujar Jumisih.
(Baca Juga: Kisah Perjuangan Hidup Mantan Buruh Lesbian)Diskriminasi terhadap para priawan bertubi-tubi, mulai dari proses penerimaan kerja hingga ketika priawan itu sudah bekerja di pabrik. Perempuan dengan gaya dan tampilan yang tomboi sering kali dikesampingkan. “Yang diterima itu yang gayanya cewek banget,” kata ibu satu anak ini.
Saat sudah diterima, tekanan sosial tak luput dialami oleh para priawan. Mereka kerap dijauhi, baik oleh sesama buruh pabrik maupun atasan. Mereka juga sering diminta untuk tidak berpenampilan seperti laki-laki. “Priawan tidak nyaman mengenakan seragam pabrik model perempuan. Ketika mereka minta seragam model laki-laki, tidak dikasih oleh atasan,” kata Jumisih.
Namun, situasi akan berbalik bila priawan sanggup beradaptasi dan menunjukkan kinerja yang memuaskan atasan. Pasalnya, priawan dianggap lebih tahan banting dalam melakukan pekerjaan berat. “Ternyata, pada akhirnya, priawan akan lebih diandalkan oleh atasan,” ujar Jumisih.
Selain itu, masih pula ditemukan perlakuan tidak menyenangkan terhadap buruh pabrik lesbian. Koordinator Effort Semarang Ina Irawati mengatakan perlakuan diskriminatif didapatkan buruh lesbian mulai dari lingkungan kos, keluarga, sampai ke lingkungan pabrik.
(Lihat Juga: Cerita Buruh Gay yang Cari Selamat)Effort merupakan lembaga swadaya masyarakat di Semarang yang bergerak dalam bidang pemberdayaan LGBT. Sebagian besar anggotanya merupakan buruh pabrik.
“Kalau di tempat kos, ada yang sampai diusir. Jadi terpaksa harus pindah ke kosan lain,” kata Ina kepada CNN Indonesia. Sementara, di lingkungan pabrik, pihak sekuriti kerap melakukan pelecehan seksual.
Selain itu, ada kasus di mana atasan melakukan berbagai cara untuk membuat buruh pabrik lesbian tersebut tidak betah bekerja di pabrik tersebut. “Misalnya, dimutasi terus sampai buruh tersebut memutuskan keluar,” kata Ina.
Perlakuan diskriminatif itu dilakukan secara terselubung sehingga tidak ada jalan bagi buruh untuk menuntut. “Di dalam regulasi secara tertulis memang tidak ada aturan yang mendiskriminasi buruh lesbian. Namun, dari perkataan manajer pabrik sempat juga ketangkep, bahwa oh sebenarnya alasannya karena buruh tersebut homoseksual,” kata Ina.
Perangi Ketidakadilan dengan KomunitasBaik Jumisih maupun Ina sepakat bahwa buruh LGBT harus diberdayakan dan dikuatkan dengan bantuan komunitas. Tanpa komunitas, mereka akan terkungkung dalam dunianya sendiri dan akan sangat berat bagi mereka untuk menghadapi masyarakat yang masih menghakimi kaum homoseksual.
Komunitas menekankan bahwa homoseksualitas tidaklah menular. Itu bukan penyakit. Seksualitas adalah sesuatu yang cair.Jumisih, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik |
Di KBN Cakung, Jumisih memperkirakan ada sekitar 30 persen buruh pabrik yang merupakan lesbian dan priawan. Namun. Banyak di antaranya yang masih menyembunyikan jati dirinya. Dengan jumlah sebesar itu, Jumisih berharap mereka bisa terorganisasi dengan baik dan bersatu dalam komunitas buruh LGBT yang kini telah terbentuk, yaitu Pelangi Mahardhika.
“Kalau dibiarkan sendiri, nanti mereka seperti ada di dunia sendiri, yaitu hanya bersama dengan pasangannya dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Makanya kami coba ajak mereka keluar dari dunianya dan ikut dalam agenda demokrasi, seperti perjuangan upah dan perjuangan jam kerja. Kami sampaikan bahwa itu tugas mereka juga, bukan hanya tugas kami,” kata Jumisih menjelaskan.
Jumisih menilai buruh lesbian dan priawan kerap menjauhkan dirinya dari lingkungan sosial karena masyarakat belum menerima kehadiran mereka dan masih menganggap homoseksual sebagai hal yang aneh.
Tak jarang, buruh lesbian dan priawan kemudian mengunci diri rapat-rapat dan hanya bergaul dengan pasangannya. “Mereka berpikir lebih baik hidup dengan pasangan di dalam kontrakan. Ini tidak sehat menurut saya. Mereka harus dibawa keluar, ke masyarakat luas,” kata Jumisih.
 Pasangan transgender priawan bersama dengan kekasihnya dalam sebuah perayaan pre Hari Buruh Sedunia. (CNN Indonesia/ Yohannie Linggasari) |
Komunitas kemudian memberikan pemahaman dan ilmu kepada para buruh lesbian dan priawan bahwa keunikan mereka bukanlah sesuatu yang tidak normal. Bahwa mereka adalah manusia seutuhnya, yang penuh dengan kewajaran dan sepenuhnya normal.
Komunitas menekankan bahwa homoseksualitas tidaklah menular. Itu bukan penyakit. Karenanya, tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Seksualitas adalah sesuatu yang cair.
“Walaupun mayoritas masyarakat masih berpikir ini penyakit, tetapi kami di Pelangi Mahardhika menyampaikan jangan seperti itu. Justru kami harus bisa menyampaikan ke masyarakat bahwa kami bukan sampah masyarakat, bahwa kami bisa berjuang dalam isu-isu LGBT, dan bahkan isu-isu lainnya,” kata Jumisih menegaskan.
Sementara, di Effort, Ina mengatakan pihaknya mengadakan diskusi rutin di mana pesertanya adalah kaum homoseksual dan heteroseksual. Tujuannya untuk mengeliminasi jurang pemisah di antara keduanya. Supaya antara homoseksual dan heteroseksual dipandang sama, selayaknya manusia biasa.
“Sengaja nyampur, agar bisa mengeliminasi homofobia itu sendiri. Kami juga ajarkan bahwa patriarki bukan hanya terjadi pada kaum heteroseksual, tetapi juga pada homoseksual. Kami berikan pemahaman agar kemudian tidak terjadi patriarki dalam hubungan homoseksual,” kata Ina.
Pemahaman secara ilmiah juga coba diberikan agar buruh lesbian dapat menerima dirinya sendiri. “Saya katakan bahwa sudah ada penelitian dari Ahli Genetika Dean Hamer soal kromosom XQ 28,” kata Ina.
Penelitian tersebut mengungkap bahwa kromosom tersebut membawa potensi homoseksual orang yang berkaitan. “Kalau sudah bicara kromosom, artinya itu ciptaan Tuhan. Lalu bila ditentang, apakah ciptaan Tuhan ini tidak berhak hadir di dunia?” kata Ina.
Menjalani hari secara wajar, bekerja selayaknya pekerja, dan hidup penuh dengan kemerdekaan adalah harapan para buruh homoseksual yang hingga kini belum sepenuhnya terwujud. Lewat komunitas, mereka berjuang agar harapan tersebut bisa segera nyata.
Hari ini adalah hari buruh internasional. Namun hingga saat ini, belum ada hitungan pasti seberapa besar komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Sebab masih banyak yang belum bersedia membuka diri soal ini. Lembaga Buruh Internasional (ILO) bersama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian tentang persepsi anggota serikat buruh tentang pekerja LGBT (lesbian, biseksual, gay, transgender). Judul penelitian ini adalah Gender Identity and Sexual Orientation: Promoting Rights, Diversity and Equality in the World of Work (PRIDE).
Riset ini menunjukkan bahwa pekerja LGBT masih kerap mendapatkan diskriminasi. Ditemukan bahwa mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan (pada umumnya) tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, dirisak, diancam, dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik.
Aktivis LGBT Dede Oetomo berpendapat transgender, terutama waria, mengalami diskriminasi paling berat di antara semuanya. Ekspresi gender dan orientasi seksual yang terlihat jelas membuat kehadiran mereka begitu menonjol dan menjadi pusat perhatian. Dalam banyak kasus, waria paling kesulitan mendapatkan pekerjaan dibandingkan lesbian, gay, biseksual, maupun priawan. Maka tak jarang, waria kerap menjadi pekerja seks komersial karena keterbasan pilihan pekerjaan tersebut.
(utd)