Usia 13 Tahun Try Sutrisno Sudah Jadi Intelijen

Resty Armenia | CNN Indonesia
Senin, 18 Mei 2015 12:18 WIB
Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno bercerita pernah menjadi penyelidik intelijen di sebuah Unit Ketentaraan saat berusia 13 tahun.
Tr
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno bercerita ihwal dirinya yang pernah dipercaya menjadi penyelidik dalam organisasi intelijen di sebuah Unit Ketentaraan. Saat itu usianya baru 13 tahun.

Try mengungkapkan, kisah tersebut berawal ketika wilayah pengungsiannya di kota Mojokerto, Jawa Timur, diduduki Belanda. Ia dan pengungsi lainnya mengundurkan diri sampai ke Desa Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Di sana ia bertemu dengan ayahnya yang menjadi pejuang di suatu Unit Ketentaraan.

"Selama bertemu dengan Bapak, nasib saya berubah. Yang tadinya mandiri dengan Ibu, saya jadi tobang, kacung atau pembantu tentara," ujar Try dalam kuliahnya di acara Kultum Supermentor 6 yang diadakan di Djakarta Theater XXI, Jakarta Pusat, Minggu (17/5). (Baca juga: Cerita Eks Wapres Pernah Jualan Air, Koran, dan Rokok)

Dengan menjadi pembantu tentara, sambung Try, sehari-hari ia bertugas untuk membersihkan sepatu tentara, menyiapkan makan tentara, dan lain sebagainya. Namun, tak berapa lama ia mengemban amanah itu, situasi ternyata berkembang.

"Di Indonesia, pejuang dari kecil sampai dewasa ada. Umur 13 tahun, saya dipercaya oleh unit Bapak saya jadi penyelidik dalam organisasi intelijen," kata dia.

Try menjelaskan, sebagai seorang penyelidik di sebuah organisasi intelijen, ia bertugas untuk menyusup ke dalam wilayah pendudukan Belanda dengan membawa dokumen penting untuk diserahkan kepada pejuang yang ada di Kota Surabaya, yang saat itu masih diduduki penjajah Belanda.

Try pun harus membawa dokumen untuk diserahkan kepada kelompok pejuang di sana dan kembali dengan membawa obat. "Untuk suplai kesehatan, dibutuhkan penicillin," ujar dia.

Menurut Try, membawa dokumen penting itu bukanlah perkara yang mudah. Pasalnya, ia harus menyusun siasat untuk melewati wilayah yang aman.

"Dulu ada garis status quo, garis antara Indonesia dan Belanda yang dijaga oleh marinir brigade. Saya sekecil itu sudah bisa mengembangkan satu siasat. Kalau saya lewat status quo pasti akan ditangkap Belanda. Oleh karena itu, saya lewat sawah," kata dia.

Try berkisah, sesampainya di Mojokerto ia dan kawannya ditampung oleh seorang warga keturunan Tionghoa. "Warga Cina ini sangat setia dan loyal dengan perjuangan kita. Dia beri uang untuk transportasi ke Surabaya," ujar dia.

Setibanya di Surabaya, lanjut Try, dia memberikan dokumen penting itu dan kembali dengan membawa obat, dengan risiko nyawanya melayang akibat dibakar oleh Belanda jika tertangkap.

"Tapi alhamdulillah saya lakukan itu lima kali, bahkan pernah bawa ibu dan adik saya ke Surabaya untuk menengok rumah. Alhamdulillah tidak tertangkap," kata dia.

"Setelah pengakuan kedaulatan KMB (Konferensi Meja Bundar), baru saya ke kota. Di situ baru saya sekolah lagi, tapi saya terlambat tiga tahun karena perjuangan kan tidak sekolah. Saya ingin mengabdikan diri terus karir saya di dalam ketentaraan," ujar dia mengenang.
(ded/sip)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER