Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Sumarna F. Abdurahman, mengatakan akan memberi sertifikasi kepada 120 ribu tenaga kerja di Indonesia di 12 sektor prioritas ASEAN Economic Community (AEC). Hal ini dilakukan demi mempersiapkan Masyarakat Ekonomi Asean yang akan dimulai pada akhir tahun nanti.
"Kami akan sertifikasi sebanyak 120 ribu tenaga kerja di 12 sektor. Agar kita punya 120 ribu orang yang siap bertarung," kata Sumarna saat ditemui di Universitas Indonesia, Depok, kemarin, Selasa (19/5).
Belasan sektor tersebut terdiri dari lima sektor jasa, yakni kesehatan, pariwisata, logistik, komunikasi dan informasi, serta perhubungan udara. Sementara ketujuh sektor lainnya merupakan sektor produk yang terdiri dari agro, perikanan, tekstil, elektronika, karet, kayu dan otomotif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk membuka seluruh sektor itu, Sumarna menjelaskan ada lima elemen yang jadi mekanisme liberalisasi.
"Harus bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, tidak ada lagi asing harus minortitas, mereka 100 persen boleh membangun perusahaan, bebas modal dan terakhir adalah bebas tenaga terampil," jelas Sumarna.
Dia melanjutkan, demi menghadapi situasi tersebut, Indonesia harus melakukan Indonesia Incorporated. Artinya, pemerintah harus bekerja sama dengan dunia pendidikan dan industri harus bersatu menghadapi MEA.
"Bagaimana Indonesia menyiapkan orang agar tidak tergantikan, bagaimana menyiapkan industri yang kuat produksinya agar bisa menang dalam persaingan. Itu harus bersama. Indonesia incorporated," tegas Sumarna.
Jumlah LSP Masih TerbatasSelain memberikan sertifikasi pada tenaga kerja, pemerintah juga berkomitmen akan melisensi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) agar bisa mencetak lebih banyak lagi tenaga kerja yang tersertifikasi.
Namun sayangnya, dari target 600 LSP pada tahun 2019, BNSP baru melisensi sekitar 150 LSP. "Kami sampai 2019 harus melisensi sekitar 450 lagi," kata Sumarna.
Selama ini, jumlah pengadaan LSP terkendala kebutuhan industri. Sumarna mengklaim, sebagai pengguna jasa tenaga kerja, pihak industri masih belum mensyaratkan secara mutlak tentang sertifikasi kompetensi untuk tenaga kerjanya.
"Karena industri ada ketakutan, kekhawatiran akan berdampak ke sistim renumerasi. Kalau Anda memiliki sertifikasi pasti Anda menuntut gaji yang tinggi," kata Sumarna.
Menghadapi hal ini pemerintah pun memiliki kebijakan untuk memberikan insentif bagi industri yang mensyaratkan sertifikasi untuk tenaga kerjanya.
"Pemerintah perlu memberikan insentif bagi perusahaan, industri, yang di dalam recruitmentnya itu menyaratkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi maka industri itu akan diberi keringanan pajak. Itu pasti semau industri berbondong-bondong," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga melakukan pendekatan mandatori yang mewajibkan industri mempunyai LSP.
Sumarna juga menilai, sertifikasi tidak hanya penting untuk mendapatkan sumber daya manusia yang kompeten, tapi juga menguatkan sektor tempat tenaga kerja tersertifikasi itu berada.
"Misalnya perbankan. Dari tahun 2004 dia memberlakukan banker yang khusus menangani kredit harus punya sertifikat kompetensi manajemen risiko. Berarti ada unsur
prudency, kehati-hatian dan lainnya," ujar Sumarna.
"Waktu terjadi krisis keuangan dunia tahun 2008, sistim perbankan Indonesia relatif kuat karena SDM-nya sudah kuat. Itu salah satu dampak positif dari sertifikasi," katanya.
(meg)