Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Pemilihan Umum, Husni Kamil Manik, tidak mempermasalahkan usulan Komisi II yang meminta adanya audit terhadap pendanaan KPU jelang penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).Bahkan, dia menilai audit tersebut sudah sewajarnya menjadi keharusan.
"Audit dana Pilkada itu keharusan. Semakin cepat auditur terlibat, pengelolaan dana Pilkada semakin baik," ujar Husni saat dihubungi, Selasa (26/5). Selain itu, dia pun menilai bahwa usulan tersebut sejalan dengan undang-undang.
Sebelumnya, Ketua Komisi II Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Kepemiluan DPR, Rambe Kamarulzaman, mendesak dilakukan audit atas kinerja Komisi Pemilihan Umum. "Kami ingin KPU diaudit Badan Pemeriksa Keuangan," ujar Rambe.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan mendasar dari desakan tersebut, ujar Rambe, adalah membengkaknya anggaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang semula direncanakan sekitar Rp 4 triliun menjadi Rp 6,7 triliun untuk 269 daerah.
Menanggapi hal tersebut, Husni pun mengungkapkan sejumlah alasan dari membengkaknya anggaran tersebut. Seperti, ditanggungnya biaya kampanye dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Kemudian jumlah unit kecamatan, desa, keluraham, dan TPS jadi lebih banyak karena pemekaran. Kenaikan harga dalam waktu lima tahun juga. Hasil audit nanti akan menemukan jawabannya" jelas Husni.
Hal serupa diutarakan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Sebelumnya, ia mengatakan ada sejumlah penyebab pembengkakan anggaran pilkada, misalnya KPU Daerah juga menetapkan anggaran, padahal sesungguhnya anggaran telah ditetapkan KPU pusat.
Selain itu, KPU memang menganggarkan cukup tinggi terutama untuk sejumlah daerah yang secara geografis membutuhkan anggaran lebih seperti bagian timur Indonesia. Anggaran juga jadi besar karena untuk biaya kampanye.
Menurut riset FITRA, saat tahun pilkada di daerah, biasanya belanja publik menjadi kecil dan terhenti hanya untuk membiayai pilkada. "Bahkan anggaran pendidikan dan kesehatan dipangkas untuk pelaksanaan pilkada," kata Sekjen FITRA, Yeny Sucipto.
Ada pula temuan, daerah menggunakan anggaran tunjangan pegawai ke-13 untuk membiayai pilkada. "Kecerobohan ini karena Jokowi tidak mengantisipasi anggaran pilkada pada APBN-P 2015. Seharusnya biaya pilkada dibebankan pada APBN agar pembangunan di daerah tetap berjalan," kata dia.
(meg)