Korban Lapindo: Hidup Sudah Susah, Kami Tunggu Ganti Rugi

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Jumat, 29 Mei 2015 11:57 WIB
Tutik masih ingat betul saat lumpur abu-abu pekat disertai bau menyengat amonia menenggelamkan rumah yang ia bangun untuk ketiga anaknya sembilan tahun lalu.
Pusat semburan lumpur Lapindo sejak 2007 lalu beserta daerah terdampaknya. (Dok. BPLS)
Jakarta, CNN Indonesia -- Astuti Asih atau Tutik, perempuan 60 tahun warga perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, masih ingat benar kejadian tragis itu. Sembilan tahun silam, lumpur abu-abu pekat disertai bau menyengat amonia yang berasal dari area eksplorasi tambang PT Lapindo Brantas Inc. melahap habis rumah yang dibangun dia dan suaminya untuk ketiga anak mereka. (Baca: Hari Ini, Sembilan Tahun Sidoarjo Digempur Lumpur)

"Rumah saya itu sekarang udah enggak kelihatan sisa-sisanya. Hilang sama sekali," kata Tutik kepada CNN Indonesia, Jumat (29/5).

Namun Tutik beruntung. Rumah itu bukan tempat tinggal utamanya. Dia dan suami menetap di Sidoarjo Kota yang aman dari dampak semburan lumpur Lapindo. Alhasil Tutik tak perlu bingung memikirkan di mana akan tinggal setelah rumahnya di Porong ditenggelamkan lumpur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski demikian, ujar Tutik, "Rencana kami untuk masa depan anak-anak kandas." (Baca juga: Sembilan Tahun Bencana Lapindo, Jokowi Diminta Hukum Pelaku)

Lumpur panas bersuhu 57 derajat Celcius itu terus meluber ke permukiman warga dan berimbas langsung ke Desa Siring, Kecamatan Porong, serta jalan di Desa Permisan, Kecamatan Jabon. Lumpur mengubur 10.462 rumah, 23 sekolah, dua kantor pemerintahan, 15 mesjid, 23 fasilitas manufaktur, dan 306 hektare sawah.

"Waktu itu saya baru rencana buat dapur, terus mau pesan pagar. Cuma belum sempat dipasang sudah kebanjiran lumpur pasca letusan gas itu. Lumpurnya deras banget mengalir. Saya waktu itu enggak berani lagi lihat ke sana," kata Tutik.

Sebulan setelah kejadian itu, Tutik memberanikan diri berkunjung ke rumahnya. Hasilnya, tidak ada apapun yang bisa ia lihat kecuali tanggul yang membentang menutupi areal permukiman.

Menyadari tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan rumah, warga Tanggulangin bersama Ketua Rukun Tetangga dan Ketua Rukun Warga mereka memutuskan untuk sering berkumpul bersama. "Semuanya mengurus ganti rugi bersama-sama. Saat itu masih enggak jelas siapa yang akan ganti biaya rumah kami," kata Tutik.

Warga Tanggulangin lantas menggelar rapat rutin setiap dua minggu sekali. Setiap rapat, mereka mesti mengeluarkan uang minimal Rp 100 ribu per keluarga untuk akomodasi dan konsumsi mereka sendiri. Namun meski sudah rapat dan menuntut PT Lapindo Brantas Inc mengganti rugi tempat tinggal warga yang terbenam, belum ada kepastian datang.

"Warga dulu sampai demo ke Jakarta pakai duit sendiri. Tapi habis demo enggak ada hasilnya juga. Saya sampai minta anak saya yang jurnalis untuk membantu menanyakan ke PT Lapindo Brantas," ujar Tutik.

Akhirnya setelah didesak banyak pihak, antara lain Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PT Lapindo Brantas Inc setuju memberikan ganti rugi kepada warga korban lumpur Lapindo pada 2007. Ganti rugi tersebut berupa lahan plus rumah bagi korban lumpur sebesar Rp 2,5 juta per meter persegi.

Persetujuan tersebut ditandatangani oleh Ketua Pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Lumpur, Bupati Sidoarjo, Ketua DPRD Sidoarjo, serta perwakilan korban lumpur Lapindo. Namun, menurut Tutik, pembayaran tak berjalan lancar. Nyaris dua tahun lamanya sebelum semua ganti rugi lunas dibayar PT Lapindo Brantas Inc. 

"Waktu itu permohonan saya termasuk yang disetujui Lapindo. Saya dapat ganti rugi 20 persen di awal, Lalu 80 persen sisanya dicicil oleh Lapindo, masing-masing cicilan Rp 15 juta," kata Tutik.

Model penggantian dana seperti itu menurut Tutik sangat merugikan warga. Alasannya, warga jadi tidak bisa membangun rumah baru lagi dengan dana yang sangat terbatas tersebut. "Uang segitu cukupnya cuma buat hidup sehari-hari saja. Kesedot banget uang saya waktu itu untuk urusan ini-itu," kata dia.

Dengan dana terbatas, warga yang hanya memiliki satu tempat tinggal yang telah terbenam itu terpaksa menetap di Pasar Porong, Sidoarjo. Di sana pemerintah daerah membantu membuatkan permukiman sementara berupa kios masing-masing berukuran 2 x 2 meter untuk ditinggali satu keluarga.

"Bayangkan, empat sampai lima orang tinggal di satu kamar kecil. Untuk pasangan suami-istri bisa pergi ke kamar khusus. Sengsara sekali," kata Tutik.

Pengangguran meningkat

Selain persoalan tempat tinggal, banyak warga di beberapa desa yang menganggur karena pabrik tempat mereka bekerja tutup akibat tenggelam dalam lumpur. "Mau kerja lagi juga di mana. Enggak ada pekerjaan lain waktu itu. Banyak tetangga yang jualan kerupuk tapi pabriknya pada tutup," kisah Tutik.

Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo, puluhan perusahaan saat itu tutup akibat lumpur Lapindo, antara lain PT Victory Rottanindo, pabrik kerupuk CV Sari Inti Pratama, pabrik konstruksi baja PT Supra Surya Indonesia, PT Titis Sampurna outsourcing, dan pabrik minuman keras PT Gunung Mas Sentosa Raya.

Terhentinya roda perekonomian di Sidoarjo tersebut akhirnya mendapatkan penggantian oleh PT Lapindo Brantas Inc dalam bentuk bantuan kepada buruh di perusahaan-perusahaan tersebut sebesar Rp 700 ribu rupiah per bulan hingga kegiatan produksi pabrik kembali berjalan.

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyebut penggantian terhadap perusahaan atau pabrik yang tutup itu belum mencapai 100 persen. Skema penggantian atas pabrik rencananya akan dibahas lagi oleh pemerintah pada 2016. 

Tak mau pepesan kosong

Meski rumah Tutik di Tanggulangin sudah mendapat ganti rugi, sawahnya di daerah Bringinbendo, Sidoarjo yang turut terdampak lumpur Lapindo belum juga mendapatkan ganti rugi. Alasannya, sertifikat kepemilikan tanah yang masih diurus ke Badan Pertanahan belum selesai hingga kini.

"Sudah dua tahun diurus sejak lumpur menggenangi sawah saya tapi sertifikat belum juga selesai," kata Tutik.

Pemerintah akhirnya membantu membayar ganti rugi kepada warga setelah Lapindo pada 2014 mengaku tak sanggup membayar ganti rugi kepada warga. Dalam pertemuan antara Lapindo dengan perwakilan pemerintah, pemerintah sepakat memberi pinjaman kepada PT Lapindo Brantas Inc sebesar Rp 781 miliar atas 3.000 berkas permohonan  ganti rugi yang diajukan warga.

Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan sejauh ini pemerintah pusat telah membantu dampak akibat lumpur Lapindo sebesar Rp 5,5 triliun sejak 2007. Bantuan tersebut berupa pembangunan tanggul, pengalihan lumpur, serta pembelian aset warga. 

Saat berita ini diturunkan, perundingan untuk membahas pinjaman PT Lapindo Brantas Inc kepada pemerintah pusat masih berlangsung. Bantuan tersebut ditargetkan turun ke warga sebelum lebaran.

Tutik berharap pemerintah yang telah berjanji mengganti rugi kepada warga, bisa menepati janji untuk memberikan bantuan secara cepat. "Jangan sampai pembayarannya terkatung-katung seperti PT Lapindo Brantas dulu. Hidup kami sudah susah, jangan jadi tambah susah lagi. Lahan yang terdampak itu sudah enggak mungkin kami jual lagi. Siapa yang mau beli?" kata dia.

Baca penjelasan Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam Tabussala, dalam wawancara dengan CNN Indonesia: Ganti Rugi Korban Lumpur Dibayar sebelum Lebaran (utd/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER