Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengatakan tidak mungkin dapat menyelesaikan sengketa Pemilihan Kepala Daerah dalam kurun waktu 45 hari kalender. Hal itu disampaikan Anwar dalam rapat konsultasi bersama DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian Republik Indonesia.
Diketahui, hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal 157 ayat 8 mengatur Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan paling lama 45 hari sejak diterimanya permohonan.
Hal ini pula yang menjadi salah satu pendorong agar direvisinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, karena UU tersebut memang belum mengatur kewenangan MK dalam menangani sengketa Pilkada. Selama ini MK hanya menangani sengketa Pemilu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada jalan lain kecuali revisi UU MK. Sekaligus mengatur hukum acara, yang menurut kami waktu ideal penyelesaian sengketa 60 hari," ujar Anwar di Gedung DPR, Jakarta, Senin (6/7).
Mendengar pernyataan tersebut, pro dan kontra pun mulai terjadi pada saat mendengarkan pandangan fraksi, terutama mengenai penambahan waktu penyelesaian sengketa. Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional, Yandri Susanto, mendukung untuk direvisi terbatasnya UU MK akan hal ini.
Yandri mengungkapkan, anggota fraksi PAN sudah menanda tangani untuk menjadi inisiatif anggota DPR atas revisi terbatas ini. Hal serupa pun disampaikan oleh Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar Al-Habsy.
"Kami ingin negara ini aman. Revisi, diterima saja ketua. Atur waktunya," ujar Aboe Bakar kepada Fadli Zon selaku pimpinan rapat konsultasi.
Sementara itu, sinyal penolakan diberikan oleh Fraksi PDI Perjuangan. Politikus PDI Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan waktu 45 hari tersebut telah dihasilkan melalui pembicaraan bersama dengan MK beberapa waktu yang lalu.
Sejumlah pertimbangan pun menjadi dasar mengapa saat itu MK diberikan tambahan waktu dari 30 hari menjadi 45 hari untuk menangani sengketa Pilkada. Pertimbangannya antara lain adalah sengketa terkait perselisihan hasil.
Selain itu, MK juga tidak menangani seluruh sengketa hasil. Hasil dengan selisih yang cukup besar tidak ditangani oleh MK.
"Oleh karena itu, MK tidak lagi memberlakukan dirinya seperti masa sebelumnya," ucap Arif.
Dengan pendapat senada, Wakil Ketua Fraksi NasDem, Johnny G. Plate menilai waktu 45 atau 60 hari seharusnya sudah tak lagi dipermasalahkan oleh MK. Menurutnya, hal ini sudah tak relevan untuk dipemasalahkan kembali.
Johnny mengatakan hal itu bisa diatur melalui limitasi sengketa Pilkada agar tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.
"Bisa saja 60 hari bahkan tiga bulan tidak cukup, jika bicara soal hari. (Aturan) Yang sudah ada ini mari kita lakukan," tuturnya.
Sementara itu, usai rapat, Fadli Zon mengatakan penambahan hari tersebut diminta oleh MK karena adanya kekhawatiran jika memicu banyaknya yang menggugat di setiap Pilkada. Terkait wacana revisi UU MK, Fadli mengatakan DPR tentunya akan melihat sikap pemerintah terlebih dahulu.
"MK juga sudah mengkaji. Kalau dilakukan peraturan MK tidak bisa juga, maka harus perubahan UU," ucapnya.
(meg)