Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku tidak mempermasalahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir larangan politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah tahun ini.
Tjahjo berpendapat, sebagai warga negara Indonesia, dirinya harus taat pada hukum dan MK merupakan lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan. Lagipula, ucap dia, putusan tersebut merupakan hasil dari gugatan masyarakat, sehingga semuanya dikembalikan pada masyarakat.
"Terserah masyarakat. Tapi kan pemerintah punya komitmen ini negara hukum, keputusan MK itu mengikat. Dulu yang mengajukan kan masyarakat. Begitu saja," ujar Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (7/8). (Baca juga:
Kisah Dinasti Fuad: Korbankan Istri Muda demi Putra Mahkota)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh sebab itu, lanjut Tjahjo, pihaknya telah meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar putusan tersebut diatur dan dijadikan rujukan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), alih-alih merevisi undang-undang.
"Kami minta pada KPU untuk diatur dalam peraturan KPU. Cukup begitu saja.
Itu teknis saja. Tidak perlu harus merevisi undang-undang, karena akan melebar, tetapi cukup ditegaskan dasar keputusan MK bisa diatur dalam PKPU," kata dia.
Tjahjo menilai, kepentingan dua orang dalam hubungan keluarga bisa diartikan secara relatif, ada yang memang menganggap aman dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Yang jelas, ucap dia, pemerintah akan tetap mengikuti peraturan.
"Dulu ada kemauan masyarakat, ditampung oleh parpol, oleh DPR, pemerintah jadi undang-undang, lalu masyarakat gugat kembali dan diserahkan ke MK, dan MK
memutuskan, ya sudah. Ini upaya hukum yang harus kita hormati," ujar dia.
Seperti yang diberitakan, Mahkamah Konstitusi melalui sidang pembacaan putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015 menganggap aturan yang melarang seorang calon kepala daerah berkonflik kepentingan dengan petahana bertentangan dengan konstitusi. (Baca juga:
Titik Kelam Upaya Memberantas Politik Dinasti di Indonesia)
Para hakim MK memutuskan, Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
"Tidak ada penafsiran yang sama tentang frasa tidak memiliki kepentingan dengan petahana. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang potensial menimbulkan kerugian konstitusional," ujar Hakim Patrialis Akbar membacakan pertimbangan majelis hakim.
Hakim MK berpendapat, pasal 7 huruf r memberikan perbedaan perlakuan terhadap warga negara yang ingin ikut serta dalam proses demokrasi, semata-mata karena status kelahiran dan kekerabatannya dengan petahana.
"Tampak nyata pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok,atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusi, hak untuk dipilih," ucap Patrialis.
Penjelasan Pasal 7 huruf f sebelumnya memberikan beberapa batasan definisi frasa 'tidak memiliki konflik kepentingan', antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu. (Baca juga:
Mahfud MD: Putusan MK Terkait Politik Dinasti Sudah Tepat)
Sebelumnya, aturan pasal 7 huruf f tidak berlaku jika sang petahana telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Permohonan pengujian undang-undang ini dimohonkan seorang anggota DPRD Kabupaten Gowa bernama Adnan Purichta Ichsan yang juga berstatus anak Bupati Gowa saat ini, Ichsan Yasin Limpo. Adnan kini tengah menjajaki jalan untuk mencalonkan diri menjadi calon bupati Gowa dari Partai Golkar.
Kuasa hukum Adnan, Heru Widodo, mengatakan putusan MK ini memberikan pekerjaan rumah bagi legislator. Ia berkata, DPR dan pemerintah harus dapat memformulasikan aturan yang menutup potensi penyalahagunaan kewenangan petahana tanpa harus melanggar hak konstitusi anggota keluarga petahana yang ingin maju ke persaingan pilkada.
Heru menuturkan, pada sidang-sidang sebelumnya, perwakilan pemerintah mengatakan pengaturan pasal 7 huruf r itu bersifat sementara sampai pengawas pilkada dapat bertindak maksimal. (Baca juga:
DPR: Putusan MK 'Terima' Politik Dinasti adalah Pembodohan)
"Mahkamah berpandangan, tujuan sementara itu juga inkonstitusional karena menghalangi warga negara mencalonkan diri," katanya.
(pit)