Riwayat Tanah Banten di Bawah Kaki Dinasti Atut

Christie Stefanie, Anggi Kusumadewi | CNN Indonesia
Kamis, 09 Jul 2015 10:10 WIB
Atut boleh mendekam di penjara, namun dinasti yang dirintisnya di Banten tak lantas jatuh. Adik kandung dan adik iparnya siap bertarung di pilkada serentak.
Gubernur Banten nonaktif Atut Chosiyah usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta. (ANTARA/Reno Esnir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia yang terlampau luas kerap membuat raja-raja kecil muncul di berbagai daerah. Dinasti politik dibangun kokoh oleh satu keluarga di wilayah tertentu, seakan tak tersentuh oleh pemerintah pusat. Gubernur, bupati, sampai pemimpin DPRD dijabat oleh orang-orang yang menjalin kekerabatan. Bak kerajaan di dalam Republik.

Masalah muncul karena sistem seperti itu amat rawan. Siapa diawasi dan mengawasi apabila pemimpin lembaga eksekutif dan legislatif di satu daerah dipimpin oleh keluarga yang sama? Beranikah antarfamili bersikap profesional dan mengkritik kerabatnya yang mengeluarkan kebijakan salah? Banyak konflik kepentingan di sini. (Baca juga Kisah Dinasti Fuad: Korbankan Istri Muda demi Putra Mahkota)

Ketiadaan jaminan bahwa lingkaran kekerabatan itu bakal menjalankan roda pemerintahan daerah dengan bersih, kompeten, dan berintegritas lantas membuat aturan baru disusun: calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana –kepala daerah yang sedang menjabat saat itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konflik kepentingan yang dimaksud di situ ialah tidak memiliki hubungan darah atau ikatan perkawinan ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana yang merupakan ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu sang calon kepala daerah, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Aturan itulah yang Rabu kemarin (8/7) dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Praktik demikian –yang ‘kebetulan’ berpotensi menyuburkan dinasti politik– adalah legal karena merupakan hak konstitusi semua orang untuk dipilih. (Baca: MK Anulir Larangan Politik Dinasti di Pilkada)

Alhasil aturan yang tercantum pada Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah itu layu sebelum berkembang. Delapan belas hari sebelum pendaftaran calon kepala daerah dibuka pada 26 Juni, aturan itu tak lagi berfungsi. Padahal baru lima bulan aturan itu disahkan. Amat singkat. (Baca juga Mahfud MD: Putusan MK soal Politik Dinasti Sudah Tepat)

Putusan MK menganulir aturan tersebut menjadi angin segar bagi para kerabat petahana yang sebelumnya kecewa karena tak dapat mencalonkan diri dalam gelaran akbar pilkada serentak akhir tahun ini.

Dinasti politik yang selama ini telah terpelihara di beberapa daerah dapat kembali diteruskan. Salah satu contoh kuatnya politik dinasti tampak di ujung Pulau Jawa, yakni Provinsi Banten yang berada di bawah ‘kaki’ Gubernur Banten nonaktif Atut Chosiyah.

Atut kini memang mendekam di sel menyusul penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Desember 2013 atas dugaan suap kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten.

Awal mula

Atut merupakan putri almarhum Haji Tubagus Chasan Sochib –pengusaha, sesepuh, dan jawara yang merintis bisnisnya dari pedalaman Banten pada 1960-an. Chasan menyuplai logistik bagi Komando Daerah Militer VI Siliwangi, dan pada akhirnya mendapat banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi serta pemerintah Jawa Barat.

Chasan menjadi orang berpengaruh di Banten dan mendapat banyak proyek besar pemerintah, hingga akhirnya mendirikan perusahaan sendiri yang terutama bergerak di bidang konstruksi. Kamar Dagang dan Industri Banten serta sejumlah organisasi bisnis lainnya dia kuasai.

Pascareformasi, Chasan mendukung Banten lepas dari Jawa Barat, menjadi provinsi sendiri. Dia membantu gerakan pemekaran Banten. Setelah Banten resmi menjadi provinsi, Chasan mendorong keluarga besarnya, termasuk Atut, aktif berpolitik.

Atut menjadi Wakil Gubernur Banten pertama pada Oktober 2000. Lima tahun kemudian, Oktober 2005, Atut menggantikan Gubernur Banten Djoko Munandar yang semula dia dampingi, sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Banten menyusul kasus korupsi yang menjerat Djoko.

Menggurita

Atut resmi menjadi Gubernur Banten pada 2007 setelah memenangi pilkada. Setelah menjadi orang nomor satu di Banten, Atut pun memiliki ruang cukup luas untuk memasukkan keluarganya ke dalam ranah politik praktis –persis seperti yang dilakukan sang ayah.

Adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany, mencalonkan diri menjadi wakil bupati Tangerang mendampingi Jazuli Juwaini pada 2008, namun kalah dari petahana Ismet Iskandar dan Rano Karno.

Pada tahun yang sama, adik Atut, Haerul Zaman, terpilih menjadi Wakil Wali Kota Serang, Banten, mendampingi Bunyamin. Tiga tahun kemudian, 2011, Haerul naik menjadi Wali Kota Serang menggantikan Bunyamin yang meninggal dunia.

Pada 2010, adik Atut yang lain, Ratu Tatu Chasanah, terpilih menjadi Wakil Bupati Serang mendampingi Taufik Nuriman. Sementara ibu tiri Atut, Heryani, menjadi Wakil Bupati Pandeglang pada 2011 mendampingi Erwan Kurtubi.

Di 2011 itu Airin kembali maju dalam Pilkada Kota Tangerang. Tak seperti kegagalannya pada pertarungan di Kabupaten Tangerang, kali ini ia mujur. Istri adik Atut, Tubagus Cheri Wardhana (Wawan), itu berhasil menjadi Wali Kota Tangerang Selatan berpasangan dengan Benyamin Davine.

Keluarga Atut bahkan melebarkan sayap ke pusat. Almarhum suami Atut, Hikmat Tomet, merupakan anggota Komisi V DPR periode 2009-2014. Anak lelaki Atut, Andika Hazrumy, menjadi anggota DPD RI. Sementara istri Andika, Ade Rossi Kharunnisa, membantu melestarikan klan Atut di Banteng dengan menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Serang.

Atut memperkokoh cengkeramannya atas tanah leluhurnya pada 2011 dengan kembali memenangkan Pemilihan Gubernur Banten. Bersama Rano Karno sebagai wakilnya, mereka meraih suara mayoritas.

Goyah

Segala keberuntungan Atut mendadak sirna ketika para penyidik KPK memasuki tanah Banten dan menetapkannya sebagai tersangka pada 2013. Adik Atut, Wawan, ikut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap sengketa Pilkada Lebak.

Wawan juga menjadi tersangka untuk kasus lain, yakni korupsi pengadaan alat kesehatan di Tangerang Selatan dan korupsi alat kesehatan Pemerintah Provinsi Banten. Pada kasus terakhir itu, Atut pun terseret menjadi tersangka, sedangkan Airin turut bolak-balik ke KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi.

Dinasti Atut goyah. Meski demikian, mereka belum habis. Kerabat Atut masih setia bernaung di Partai Golkar. Hampir seluruh famili Atut yang maju menjadi pemimpin daerah maupun anggota legislatif diusung oleh partai berlambang beringin itu.

Adik Atut, Ratu Tatu Chasanah, menyatakan siap kembali mencalonkan diri pada pilkada serentak Desember 2015. Apabila Golkar tak memberikan kejelasan bakal mengusung dia terkait kisruh internal partai, maka Tatu bakal terus maju lewat jalur perseorangan.

Airin, meski menjadi pengunjung rutin KPK terkait statusnya sebagai saksi, pun kembali berniat maju di pilkada serentak. Sebagai petahana, dia mantap maju dari Partai Golkar . Pencalonan Airin sebagai Wali Kota Tangerang Selatan telah disetuju dalam Rapat Pimpinan Daerah Golkar yang digelar di Serpong (6/7)

Atut boleh mendekam di penjara, namun dinasti yang dirintis dia dan ayahnya tak lantas jatuh. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER