Jombang, CNN Indonesia --
Penyelenggaraan Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, menghasilkan terpilihnya KH Ma'ruf Amin sebagai Rais Aam atau Ketua Dewan Syuro dan Said Aqil Siradj kembali menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Namun terpilihnya dua pucuk pimpinan NU itu menyisakan persoalan. Gejolak yang terjadi di ajang muktamar memantik kegaduhan di antara para peserta. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul di kalangan masyarakat. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam tubuh organisasi kemasyarakatan terbesar di Tanah Air itu. Benarkah sejumlah partai politik "bermain" hingga merecoki pelaksanaan muktamar. Dan apakah NU sudah dihantui perpecahan.
Untuk mengetahui lebih mendalam fenomena di tubuh NU terkini, wartawan CNN Indonesia Wida Subianto mewawancarai KH Ahmad Hasyim Muzadi di Ndalem Kasepuhan atau tempat tinggal pendiri NU KH Hasyim Asy'ari di area Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Rabu malam (5/8). Berikut perbincangan dengan kiai sepuh NU yang juga bekas Ketua Umum PBNU dan kini terjun dalam kancah perpolitikan nasional itu.
Sebagai tokoh NU sekaligus seorang politikus, seiring dengan Muktamar NU ke-33 ramai ditengarai ada partai politik yang masuk dalam Nahdlatul Ulama, sebenarnya bagaimana, apa masalahnya?
Sebenarnya dalam berpolitik, Nahdatul Ulama sudah punya patokan. Patokan yang pertama adalah politik kekuasaan, yang mengejawantah pertama adalah politik-politik partai politik. Dia memang bergerak dan disiapkan untuk mengambil kekuasaan dan jabatan. Bagian yang kedua adalah politik kemashlahatan, baik politik kebangsaan, keumatan, politik internasional, dan politik apapun yang menyangkut masalah kemaslahatan umat. Untuk yang pertama, kegiatan politik praktis tidak boleh merangkap dengan Nahdlatul Ulama. Boleh bersinergi tapi tidak boleh dirangkap (jabatan), ketua partai tidak bisa jadi ketua di NU, tapi bisa bekerja sama dalam satu umat. Politik kemaslahan itu kewajiban NU.
Apakah ada yang membahayakan bagi NU saat ini?
Dalam hal ini PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Sebenarnya dia (PKB) lahir dari NU, seharusnya dia memegang amanat NU dan membesarkan NU di dalam bidang politik. Seharusnya jadi kepanjangan tangan di bidang politik dan struktural tetap harus dipisahkan. Seharusnya menunggu amanat NU harus apa. Tapi belakangan ini karena merasa fasilitasnya cukup, merasa juga mungkin banyak pejabat yang di-create dan dibentuk melalui PKB maka secara psikopolitik PKB merasa di atas NU, NU yang mengabdi ke PKB. Ini NU menjadi dieksploitasi.
Teknis awal mulanya adalah AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdli)?
Sebenarnya AHWA bukan lembaga, AHWA itu metodologi pemilihan yang lazim di NU baik syuriah, tanfidziah, direct election. AHWA ingin mengubah direct ke indirect. Yang sebetulnya hak cabang dan wilayah. Tapi oleh PBNU diambil. Sebenarnya enggak apa-apa diambil, asal memiliki persatuan, yang semula memiliki hak. Namun ternyata adaptasinya kurang matang, sehingga dari PBNU memaksakan suaranya diambil. Sementara dari wilayah dan cabang enggak ingin suaranya diambil, di sinilah terjadi konflik kepentingan. Jadi sebenarnya enggak ada kaitannya, kaitan partai politik dan AHWA, tetapi mungkin secara analisis dan kepentingan, AHWA lebih menguntungkan buat partai politik daripada direct. Cuma yang tidak bagus adalah partai politik yang mengabdi NU mengatur NU dengan mindset politik. Di NU itu kan minset politiknya kan civil society, misalnya gotong royong, silaturahim, saling tolong menolong, akhlaqul karimah. Belum terkontaminasi terlalu jauh tentang masalah kepentingan jabatan, kalau politik kan transaksional dengan baik tentang kepentingan-kepentingan. who get what.
Baik who get what. Lalu, kalau diambil partai politik, sebenarnya kekuatannya sebesar apa Nahdlatul Ulama?
NU lebih besar dari partai apapun. NU mendidik, pendidikannya, agamanya. Diambil kekuatan-kekuatan NU dalam mendidik agama, akhlak, wawasan kebangsaan, keumatan, termasuk tata hubungan secara teoritis antara agama dan negara.
Anggota Jam'iyah NU diambil sebesar itu?
Saya kira ndak lah, banyak orang NU yang masuk Golkar, masuk PDIP, jadi PKB tidak mungkin sebesar NU, karena politik NU keumatan, partai politik setingkat, pasti terbagi, tidak mungkin terkonsentrasi. Kalau mau berbaik-baik dengan NU secara riil, bukan basa basi, tentu naik (massa pendukung partainya).
Jadi karena jumlah massa NU besar, menarik minat partai-partai?
Saya kira iya. Partai punya elite, tapi partai enggak punya grass roots, akar rumputnya ada di NU. Dia (partai) melihat langsung, tapi melompati NU, kan harus kompromi, dia maunya langsung, tidak melalui jenjang NU-nya, lebih ringkas. Jadi untuk ke depan perlu penaatan kembali hubungan antara NU dan partai politik semua, tak hanya PKB.
Apakah ada yang lain selain jumlah jemaahnya dari NU?
Ada. NU kiai-kiainya belum masuk angin, dia punya kepercayaan. Itu sulit dicapai politisi. Politisi pragmatis, sementara masyarakat lihat politikus pragamatis, cash and carry. Kiai NU banyak yang karismatik, inilah kesulitan partai. Ibarat kendaraan, dia (partai) memerlukan kernet untuk cari penumpang. Ini mengapa partai sulit meninggalkan NU dan Muhammadiyah.
Anda di sini karena mengejar posisi Rais Aam?
Jadi di NU jabatan Rais Aam itu bukan jabatan yang diminta, tapi lebih pada hati nurani. Rais Aam itu jabatan yang sangat kultural, belum tentu orang yang pintar bisa diangkat jadi Rais Aam kalau tidak ada kesamaan kultural. Saya pun sudah lama di NU, sudah 50 tahun, saya tahu itu, saya tidak pernah nyeletuk lisan saya meminta posisi Rais Aam.
Kalau ditunjuk muktamirin di Tebuireng?
Kalau penunjukannya normal, saya masih mempertimbangkan. Sekarang hari ini (Rabu malam) di Tebuireng seperti ini. Saya tidak menerima jabatan Rais Aam. Kalau saya terima sekalipun ditunjuk oleh mayoritas, itu mengakibatkan NU terbelah. Tapi kalau dipilih di Alun-alun (arena muktamar) ya tidak mungkin karena saya tidak mau memimpin dengan diproses secara tidak sehat yang dilakukan panitia muktamar 2015.
Muktamirin di sini menuntut demisioner lalu membentuk muktamar ulang tiga bulan lagi. Bapak mempersiapkan diri untuk posisi Rais Aam muktamar ini? Kalau ditunjuk di muktamar tiga bulan ini?
Iya. Tapi kalau ndak. Jadi misalnya kalau iya, kalau ndak tiwas bilang iya tapi tidak berarti malu, biarkan berjalan alamiah, seluruh yang ada di NU diproses denganberjalan alamiah, tanpa rekayasa, tanpa dipolitisasi. Yang diperlukan itu siapa yang menangani (muktamar). Masalah krusialnya itu saja. Kalau yang krusial itu sudah ditangai, saya pikir akan beres, karena NU itu sudah terbiasa rebut-rebutan, gegeran berakhir dengan ger-geran, sudah biasa itu.
Ini kejadian ("muktamar lanjutan") ada di Tebu Ireng, Bapak di sini. Apakah memang yang disiapkan Bapak dan Gus Sholah?
Gus Sholah memang iya, kan memang menyampaikan maju sebagai calon ketua umum, tapi kalau untuk Rais Aam maju nyalon enggak ada, nyalon diketawain orang, karena itu bukan posisi yang diminta, itu posisi secara nurani merupakan pilihan kiai-kiai, ulama. Bukan pilihan dari politisi atau pilihan dari civil society. Kalau yang memilih ulama itu politisi maka pasti turun harga ulama itu.
Apa yang harus dilakukan NU, terutama warga nahdliyin dari orang-orang yang melihat NU dari luar dengan kondisi seperti ini?
Saya kira masyarakat di bawah sebaiknya tidak usah ikut bergejolak, biasa-biasa saja. (Muktamar) ini memberi pelajaran kepada elite di Nahdlatul Ulama supaya kalau memproses sesuatu itu yang konstitusional, yang wajar, yang santun, jauh dari rekayasa, apalagi sampai penekanan, sampai menghilangkan rasa tawadhu’ pada kiai, sampai berani bentak. Itu terakumulasi sehingga ada pengelompokan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(obs/obs)