Jakarta, CNN Indonesia -- Ditemukannya 500 warga DKI Jakarta yang menunggak membayar Pajak Bumi dan Bangunan dipastikan membuat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama kesulitan memperoleh penerimaan pajak yang ditargetkan.
Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Abdul Ghoni mengatakan Jakarta sempat mematok angka Rp 36 triliun sebagai target perolehan pajak bumi dan bangunan serta kendaraan. Sayangnya, dengan temuan tunggakan PBB warga yang mencapai Rp 3triliun pada pekan lalu, Ahok pun dinilai akan kesulitan mencapai target tersebut.
"Dengan menunggaknya pengusaha-pengusaha tersebut, akhrinya membuat target yang berat untuk Pemerintah Provinsi. Naik turunnya APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) kan tergantung dari hasil pajak itu," kata Ghoni kepada CNN Indonesia, akhir pekan lalu.
(Baca juga: Tunggakan PBB 500 Warga Jakarta Mencapai Rp 3 Triliun)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, tak hanya menyebabkan target pemprov yang meleset, namun penunggakan pajak oleh 500 warga yang 70 persen di antaranya tercatat sebagai pengusaha itu, dapat menghambat APBD Pemprov DKI.
Ghoni menilai, kewajiban Rp 3triliun yang tidak dilunasi oleh pengusaha dan masyarakat perorangan itu seharusnya dapat membantu Pemprov merealisasikan program-program yang direncanakan.
"Jumlah segitu bisa membantu banyak hal. Mulai dari sektor pembangunan, ekonomi, politik, pendidikan hingga kesehatan. Seperti BPJS, itu kan produk pemerintah DKI yang harus ditanggung," ujarnya.
(Baca juga: Tak Bedakan Besaran Utang, Kejati Panggil Semua Penunggak PBB)Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Agus Bambang Setyowidodo sempat membeberkan bahwa dari 1.9 juta warga Ibu Kota yang tercatat sebagai wajib pajak, hanya 1.2 juta orang yang membayar.
“Kalau diklasifikasi ada yang (tunggakannya) Rp20 ribu, Rp90 ribu, Rp1 miliar, sampai Rp12 miliar juga ada. Itu bisa sampai 700 ribu orang,” ujarnya kepada CNN Indonesia, Jumat (7/8) lalu.
Agus menyatakan ada dua alasan yang biasanya menjadi penyebab wajib pajak menunggak pajak. Pertama, karena mereka memang tidak patuh atau kedua, karena data yang tak lagi valid.
"Ketika dikirim surat, alamatnya susah dan datanya tidak valid. Atau sudah pindah rumah orangnya. Pemilik lama tidak diketahui berada di mana, pemilik baru tidak melapor," ujar Agus.
Namun, kata Agus, hal itu pasti lama-kelamaan akan ketahuan. Jika suatu saat bangunan yang ada di alamat itu ingin dijual lagi, Dinas Pelayanan Pajak dan Badan Pertanahan Negara akan mengetahuinya.
"Notaris, pejabat akta tanah, juga akan memberi tahu ke Dinas Pelayanan Pajak," ujar Agus.
(meg/sip)